Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Caraku Mengolah Rasa Menjadi Kata

28 Mei 2021   17:17 Diperbarui: 28 Mei 2021   18:07 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengubah rasa menjadi kata (sumber gambar: pixabay.com)

"Abang berangkat, Yah!"
"Jaga diri, Nak!"

Seusai hujan. Hari ini, pukul 13.39 waktu Curup. Dua kalimat percakapan itu diakhiri pelukan. Bukan lagi sebagai ayah dan anak, tapi pelukan dua orang lelaki.

Mataku menatap punggung si Sulung. Tubuhnya perlahan ditelan Bus antar kota antar Propinsi. Kota Padang, berjarak tempuh 19 jam perjalanan via darat. Melintasi 4 Propinsi. Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Barat.

Lelaki itu, belum menginjak 17 tahun dalam hitungan usia. Telah dua tahun berlatih menjadi pengembara. Bersiap melengkapi kisi-kisi kehidupan untuk menjadi lelaki. Belajar menerima risiko di tanah rantau, dari keputusan dan keinginan sendiri.

Aku tak tahu. Apakah anakku akan mengikuti alur kehidupan yang kulalui dulu, atau memilih menempuh jalur perjuangan yang benar-benar baru seujung mampu?

Pilihanku adalah, memenuhi kewajibanku sebagai Ayah. Dan, berharap si Sulung menjalankan perannya sebagai anak. Jika lebih dari itu? Kutitipkan asa dan doa padaNya.

Foto Si Sulung (sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Zaldy Chan))
Foto Si Sulung (sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Zaldy Chan))
3 Caraku Mengolah Rasa Menjadi Kata

Tulisan pembuka di atas, adalah gayaku melepas anakku. Dan, tulisan ini adalah caraku mengolah rasa, menjadi kata hingga berbentuk karya. Aku tulis, ya....

Mengalami atau Merasakan

Sepenggal kisah tadi, bukan fiksi. Hari ini, anakku harus pulang ke Padang, usai menikmati libur lebaran. Sebab, hari senin harus mengikuti ujian akhir semester (UAS) menuju kelas 12.

Jadi, aku menulis apa yang kualami, atau apa yang kurasakan. Tanpa berniat mendramatisir, menambah atau mengurangi. Namun, berusaha mengungkapkan yang terjadi.

"Mengalami dan merasakan langsung, adalah peluru paling tajam untuk menyusun kata-kata yang mewakilkan rasa."

Bagiku, akan berbeda kenikmatan membaca tulisan hasil dari pelaku, saksi mata atau dari penutur yang bukan keduanya.

Ukuran paling gampang adalah, membaca ulasan final dramatis liga UEFA yang ditulis oleh penggemar Manchester United. Karena berujung kekalahan tragis lewat drama adu penalti dengan skor fantastis, 10-11!

Memilih Momentum

Bagi orangtua, menurutku, momentum melepas anak untuk merantau, apatah lagi untuk menyelesaikan pendidikan. Biasanya menciptakan beragam rasa.

Hal Itu kemudian terakumulasi dalam asa dan doa. Terkadang tanpa berucap kata-kata. Hanya airmata. Karena, aku pribadi lumayan terlatih menata airmata. Jadi, aku memilih momentum percakapan di ujung perpisahan itu.

Sesungguhnya, ada beberapa pilihan momentum keberangkatan si Sulung yang bisa kutulis.

Tentang kisah di meja makan, saat kutemani si Sulung makan sesudah salat Jumat. Atau tangisan Amak (Ibuku), juga adik-adik si Sulung yang melepas Abang dalam diam sambil bertukar salam dan berpelukan.

Juga penggalan cerita selama perjalanan di atas motor biru, saat kuantar si Sulung menuju loket pemberhentian bus, yang berjarak 10 kilometer dari rumah. 

Namun, yang ingin kusampaikan adalah, "anak sulungku berangkat ke Padang".

Menimbang Kata

Sebagian pembaca, mungkin sudah mengenal caraku mengolah rasa dengan kata-kata. Entahlah! Dalam hal menulis, aku berusaha berhati-hati menata kata. Terkadang melalui berbagai pertimbangan.

Aku akan menakar kata apa yang harus kutata. Agar ide di kepala, seiring dengan pikiran, dan itu bisa aku pertanggungjawabkan.

Kemudian berhitung, apatah yang aku tulis dapat menghadirkan "sesuatu" dalam makna positif? Semisal memacu dan memicu pembaca untuk mengulang dan mengenang momentum yang sama.

Jika menurutku, cenderung bermuatan negatif, sehingga melahirkan konflik atau kontroversi, aku memilih untuk tidak menuliskan apa yang kualami dan kurasakan.

Aku tak ingin, tulisanku lepas bak anak panah ke ranah tak bertuan! Sebab, akan menciderai tujuan awalku saat memutuskan belajar menulis. Berbagi kebaikan melalui tulisan.

Ilustrasi mengubah rasa menjadi kata (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi mengubah rasa menjadi kata (sumber gambar: pixabay.com)

Terakhir....

Dalam narasi pengantar topik pilihan "Dari Rasa, Jadi Karya" memuat salah satu pertanyaan. Adakah trik atau ritual khusus mengelola rasa menjadi karya? Sejauh ini, dalam hal menulis, selain ketiga hal di atas, aku akan menjawab tidak.

Yang sering kualami? Aku keteteran mengatur alokasi waktu! Antara menjalani tugas keseharian, sekaligus melahirkan tulisan.

Selain itu, juga pertarungan dengan sinyal, yang nyaris berubah wujud menjadi kisah "pertempuran legenda" keberadaanku di Kompasiana.

Terkadang, berjibaku dalam tunggu, hanya untuk menayangkan satu tulisan. Makanya, waktu tayang artikelku tak beraturan. Hiks...

Eh, malah curhat! Pokoke, memasuki tahun ketiga ini, aku akan berusaha, setidaknya menayangkan satu hari satu tulisan. Sebagai hasil olah rasa yang berwujud karya.

Curup, 28.05.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun