Asumsiku? Sejak kecil, kita terlatih dengan pesan dari para tetua, "Jangan cari masalah!"
Karena terbiasa dengan nasehat atau pesan orangtua yang terkadang bernada ancaman itu, malah terbawa hingga proses penemuan judul dan penulisan skripsi.
Gegara "gagap" mencari masalah, akhirnya penyelesaian studi menjadi masalah.
Saranku?Â
Berlatihlah menangkap masalah atau berlatih memerangkap fenomena. Jika masalah sudah ditemukan, maka dengan menggunakan satu atau dua kata tanya, judul akan mudah ditemukan.
Tinggal memilih metode, merumuskan batasan objek, ruang atau waktu penelitian. Maka skripsi akan bisa diselesaikan.
Kerapkali kutemukan usulan judul-judul skripsi yang fenomenal dan bombastis. Namun, keteteran jika ditanyakan landasan teori yang dipakai, atau alat ukur yang akan digunakan.
Aku belum tahu motifnya kenapa para pejuang skripsi memiliki kecenderungan menulis judul dengan kalimat bombastis yang menarik minat mata. Namun, telat berpikir jika menyigi data dan mencari fakta penguat, bisa saja berujung derita.
Secara kelirumologi, aku menduga, hal itu juga dipengaruhi budaya literasi saat ini yang memang menyukai judul-judul yang fenomenal dan komersil, semisal di portal berita online atau media sosial.
Risiko lainnya? Gegara ditanamkan di kepala, jika judul itu adalah isi tulisan. Maka jadi terlatih memutuskan dan menyimpulkan sebuah tulisan dari membaca judul. Dan, menjadi sempurna ketika bertemu para ahli yang berbagi tanpa membaca isi. Sing penting, share!