Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bagi Istri Keguguran Tak Sekadar Kehilangan, Bagaimana dengan Suami?

25 Mei 2021   20:49 Diperbarui: 26 Mei 2021   13:00 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan suami istri dan sepatu bayi (sumber gambar: pixabay.com)

Keguguran dari kehamilan yang diharapkan, adalah peristiwa pahit dan sakit. Jika sungkan menyebutnya bencana kecil dalam ikatan pernikahan.

Dan, butuh nyali besar untuk membuka satu jendela dari ranah pribadi tersebut menjadi konsumsi publik.

Apapun alasan serta pertimbangan yang dilakukan, mesti siap menerima beragam tanggapan usai memberikan pengakuan. Terutama pesohor.

Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, butuh waktu panjang untuk mengakui, jika sang istri telah mengalami keguguran. Bukan hanya sekali. Tapi tiga kali!

Begitu juga dengan Baim Wong. Figur publik ini, lebih memilih menunda mengumumkan, jika istrinya mengalami keguguran anak kedua. Hingga sang istri dianggap "pulih" secara fisik dan psikis.

Berita duka kedua pesohor itu, menghadirkan simpati dan empati dari publik. Namun, tanggapan publik sedikit berbeda setelah pengakuan Atta Halilintar bahwa sang istri, Aurel Hermansyah mengalami keguguran.

Salah satu tanggapan itu  berbentuk tautan yang dikirimkan Prof Felix Tani di Grup WA SKB (baca di sini). Sambil menitip pesan dengan satu tanda tanya, "mungkin Jack mau menulis tentang ini?"

Tulisan ini tak bermaksud menari di antara gelombang reaksi kejulidan netizen. Juga tak mengomentari tentang kemasan atau cara pengungkapan kisah duka duo pesohor itu. Jadi, aku menulis berpijak dari kelirumologiku, ya?

Ilustrasi pasangan suami istri (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pasangan suami istri (sumber gambar: pixabay.com)
Bagi istri, Keguguran Tak Sekadar Kehilangan

Setelah tamat sekolah atau kuliah. Akan ditanya kerja di mana? Setelah bekerja hadir pertanyaan, belum punya pacar? Usai memiliki pasangan, akan ditanya kapan menikah? Sesudah menikah, udah hamil? Punya anak berapa?

Pertanyaan ini, bisa saja dialami oleh lelaki. Namun, secara de facto, jika berkaitan dengan masalah usia dan kesehatan serta kesuburan organ reproduksi, membuat posisi lelaki sedikit "diuntungkan" dibandingkan perempuan, tah?

Bagi perempuan, kehamilan tak sekadar bukti dan persembahan cinta. Namun, juga menjadi bukti "keperempuanan". Sehingga kabar kehamilan terkadang menciptakan euforia.

Sebab, butuh jalan panjang dan perjuangan berliku untuk sampai ke titik itu. Apatah lagi, tak semua perempuan punya peluang yang sama merasakan kehamilan, tah?

Terlepas dari rasa sakit dan pahit secara fisik atau psikis yang dialami istri. Maka, keguguran tak hanya menjadi kegagalan pembuktian sebagai perempuan. Namun juga menjadi "hukuman" bagi perempuan.

Perempuan merasa bersalah, dianggap tak mampu menjaga janin yang ada di tubuhnya. Merasa bersalah sekaligus was-was, ternyata ada yang salah di rahimnya. Atau, mencari tahu sikap serta perilaku salah yang menjadi pemicu keguguran itu.

Perihnya. Hal-hal ini, akan terus terngiang dan terulang. Di antara senyuman dan air mata. Menjadi berita, cerita serta cerita. Ketika keluarga dekat, sahabat atau kerabat, tiba dan datang berkunjung.

Tujuan awal memberi simpati dan empati. Namun, terkadang hal itu membuat luka semakin dalam!

Bisa bayangkan dahsyatnya, tekanan psikologis yang dialami Istri Mark Zuckerberg. Ketika tiga kali mengalami keguguran, kan?

Ilustrasi pasangan suami istri (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pasangan suami istri (sumber gambar: pixabay.com)

Bagi Suami, Keguguran Bukan Hanya Kegagalan

Adalah keliru, bila ada pasangan yang melewati dua tahun menikah, maka tekanan pertanyaan tentang keberadaan anak lebih dirasakan istri. Para suami juga merasakan kegelisahan yang sama.

Ada banyak tingkah dan polah suami, saat mendapat kabar kehamilan istri. Dari sikap terkejut karena tak menyangka, hingga mengharu biru penuh doa dan air mata.

Selain itu, kehamilan istri menjadi satu titik pembuktian sebagai seorang lelaki.

Adalah bohong, bila suami tak merasakan kehilangan, saat harus menerima kenyataan istri mengalami keguguran. Atau merasa kegagalan tak mampu menjaga istri sebagai bagian dari tanggungjawab.

Namun, suami mesti "mengabaikan" rasa kehilangan itu di ruang tersendiri. Agar istri tak merasakan beban psikologi yang lebih berat lagi.

"Lelaki memilih jalan sunyi, menyembunyikan luka dalam sepi," ungkap para psikolog.

Karena pilihan itu, tak jarang lelaki pun mengalami depresi. Dan, ini semakin menjadi-jadi, bila ternyata sang istri mengalami traumatis yang dalam usai keguguran. Sehingga belum juga mendapatkan kehamilan.

Percayalah! Menata perasaan setelah melalui peristiwa itu, tak semudah mendengar ucapan, "Tenang. Nanti bikin lagi!"

Ilustrasi wanita hamil (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi wanita hamil (sumber gambar: pixabay.com)

Mengumumkan Keguguran Istri sebagai Eksploitasi Reproduksi?

Usai mengumumkan keguguran. Hingga hari ini, masih banyak tanggapan publik terhadap Atta dan Istri. Di luar nada simpati dan empati, banyak juga nada sinis dari netizen.

Namun, tak juga adil jika mengerucutkan tanya pada kalimat, siapa yang salah?

Bagi publik (baca: netizen). Pernik kehidupan pasangan itu sudah memasuki kamar tidur bahkan dapur mereka. Mulai dari urusan A sampai Z, yang tak lepas dari cengkaraman netizen. Jadi, mereka merasa bebas melakukan apa saja versi mereka.

Hematku, menjadi keliru adalah ketika menyikapi kabar itu, bukan dari pendekatan humanis. Tapi sudut pandang bisnis!

Bagi pasangan Atta dan Istri. Pengumuman dengan "cara" itu, bisa saja menjadi bentuk "tanggung jawab sosial" mereka, bahwa publik juga berhak tahu. Tak hanya kabar bahagia, juga berita duka. Karena, sejak awal sudah mengikuti jejak cinta keduanya.

Mungkin saja, karena mereka besar di "negara atensi". Maka reaksi dari tanggapan publik terhadap mereka, apapun itu, malah menjadi pemicu adrenalin atau bahkan menjadi semacam vitamin, tah?

Ilustrasi sepatu bayi (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi sepatu bayi (sumber gambar: pixabay.com)
Selalu Ada Hal Positif, Kan?

Selalu ada hal positif yang bisa dipetik, di balik fenomena berita keguguran Istri Atta yang sempat menjadi peringkat 1 trending topic di twitter.

Akan ada hikmah, di antara banjirnya pelintiran dan pelesetan reaksi dari netizen yang mahabenar dan mahatahu.

Setidaknya. Aku mendapati banyak pula artikel yang "berhasil" meniti buih dari fenomena yang viral ini.

Misal? Tulisan tentang Tips Kesehatan Pasca Keguguran. Ada juga tulisan "Cara Hidup Sehat Saat Hamil Muda agar Tak Alami Keguguran". Atau aneka tulisan resep makanan serta jenis olahraga ringan selama kehamilan atau pasca keguguran.

Tak hanya artikel kesehatan fisik. Kajian psikis melalui tinjauan psikologi juga ada. Misalnya, "Hal yang harus dilakukan suami saat istri keguguran". Atau "Tips Menjaga Hubungan Tetap Harmonis Setelah Keguguran".

Kukira, tulisan-tulisan itu menjadi asupan bergizi, dibanding menelan dan mengenang kejulidan dari netizen, tah?

Curup, 25.05.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun