Namun, suami mesti "mengabaikan" rasa kehilangan itu di ruang tersendiri. Agar istri tak merasakan beban psikologi yang lebih berat lagi.
"Lelaki memilih jalan sunyi, menyembunyikan luka dalam sepi," ungkap para psikolog.
Karena pilihan itu, tak jarang lelaki pun mengalami depresi. Dan, ini semakin menjadi-jadi, bila ternyata sang istri mengalami traumatis yang dalam usai keguguran. Sehingga belum juga mendapatkan kehamilan.
Percayalah! Menata perasaan setelah melalui peristiwa itu, tak semudah mendengar ucapan, "Tenang. Nanti bikin lagi!"
Mengumumkan Keguguran Istri sebagai Eksploitasi Reproduksi?
Usai mengumumkan keguguran. Hingga hari ini, masih banyak tanggapan publik terhadap Atta dan Istri. Di luar nada simpati dan empati, banyak juga nada sinis dari netizen.
Namun, tak juga adil jika mengerucutkan tanya pada kalimat, siapa yang salah?
Bagi publik (baca: netizen). Pernik kehidupan pasangan itu sudah memasuki kamar tidur bahkan dapur mereka. Mulai dari urusan A sampai Z, yang tak lepas dari cengkaraman netizen. Jadi, mereka merasa bebas melakukan apa saja versi mereka.
Hematku, menjadi keliru adalah ketika menyikapi kabar itu, bukan dari pendekatan humanis. Tapi sudut pandang bisnis!
Bagi pasangan Atta dan Istri. Pengumuman dengan "cara" itu, bisa saja menjadi bentuk "tanggung jawab sosial" mereka, bahwa publik juga berhak tahu. Tak hanya kabar bahagia, juga berita duka. Karena, sejak awal sudah mengikuti jejak cinta keduanya.
Mungkin saja, karena mereka besar di "negara atensi". Maka reaksi dari tanggapan publik terhadap mereka, apapun itu, malah menjadi pemicu adrenalin atau bahkan menjadi semacam vitamin, tah?