Bagi perempuan, kehamilan tak sekadar bukti dan persembahan cinta. Namun, juga menjadi bukti "keperempuanan". Sehingga kabar kehamilan terkadang menciptakan euforia.
Sebab, butuh jalan panjang dan perjuangan berliku untuk sampai ke titik itu. Apatah lagi, tak semua perempuan punya peluang yang sama merasakan kehamilan, tah?
Terlepas dari rasa sakit dan pahit secara fisik atau psikis yang dialami istri. Maka, keguguran tak hanya menjadi kegagalan pembuktian sebagai perempuan. Namun juga menjadi "hukuman" bagi perempuan.
Perempuan merasa bersalah, dianggap tak mampu menjaga janin yang ada di tubuhnya. Merasa bersalah sekaligus was-was, ternyata ada yang salah di rahimnya. Atau, mencari tahu sikap serta perilaku salah yang menjadi pemicu keguguran itu.
Perihnya. Hal-hal ini, akan terus terngiang dan terulang. Di antara senyuman dan air mata. Menjadi berita, cerita serta cerita. Ketika keluarga dekat, sahabat atau kerabat, tiba dan datang berkunjung.
Tujuan awal memberi simpati dan empati. Namun, terkadang hal itu membuat luka semakin dalam!
Bisa bayangkan dahsyatnya, tekanan psikologis yang dialami Istri Mark Zuckerberg. Ketika tiga kali mengalami keguguran, kan?
Bagi Suami, Keguguran Bukan Hanya Kegagalan
Adalah keliru, bila ada pasangan yang melewati dua tahun menikah, maka tekanan pertanyaan tentang keberadaan anak lebih dirasakan istri. Para suami juga merasakan kegelisahan yang sama.
Ada banyak tingkah dan polah suami, saat mendapat kabar kehamilan istri. Dari sikap terkejut karena tak menyangka, hingga mengharu biru penuh doa dan air mata.
Selain itu, kehamilan istri menjadi satu titik pembuktian sebagai seorang lelaki.
Adalah bohong, bila suami tak merasakan kehilangan, saat harus menerima kenyataan istri mengalami keguguran. Atau merasa kegagalan tak mampu menjaga istri sebagai bagian dari tanggungjawab.