Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Ruang Bisu

8 Mei 2021   03:22 Diperbarui: 8 Mei 2021   04:44 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Harusnya sudah belajar dari pengalaman! Ini tahun kedua, kan?"

Kukira, Selain ruangan yang terbiasa bisu. Satu-satunya yang tak berubah adalah caramu saat berbicara.

Tekanan nada mengiringi pilihan kata yang terukur, leluasa keluar dari mulutmu. Tentu saja, tatapan matamu. Sorot mata tajam, tapi bukan tatapan mata seekor elang.

Matamu seperti tatapan mata kucing belang tiga, yang membuat jemari kaki cicak gemetar, ekornya terlepas, hingga tanpa sadar tubuhnya jatuh terkapar. Menjadi mangsa.

Kau tak menatapku. Tapi lebih memilih menatap tiga pasang mata yang sejak tadi, duduk persis di hadapanmu.

"Sudah cair, kan? Sudah dibagikan?"

Lagi. Suaramu memaksa lelaki berbaju putih lengan panjang dan berkacamata itu anggukkan kepala. Kemudian mengeluarkan suara.

"Sejak minggu lalu, Pak."

Kudengar nada suara lelaki itu bergetar. Namun wajahnya, menyiratkan rasa lega, saat kau anggukkan kepala.

Di sebelahnya, duduk lelaki berpakaian serba hitam, dengan rambut yang dipotong pendek, penuh sikap waspada. Tapi, sedikit sungkan menatapmu.

"Bagianmu bagaimana?"

"Sudah siap, Pak!"

Kau tersenyum, saat pertanyaanmu dijawab lelaki itu dengan pelan, singkat, juga tegas. Satu minggu ini, lelaki berambut pendek itu empat kali menemuimu. Tapi aku tak tahu namanya, karena kau tak pernah menyebut nama.

"Pastikan, semua tersedia!"

Kali ini, kulihat anggukan cepat dari lelaki yang duduk paling kiri. Bertubuh sedikit gemuk dan hanya mengenakan celana sebatas lutut. Dari tarikan nafasnya, kulihat dia yang menikmati pertemuan singkat sore itu.

"Kukira cukup. Temui aku jika ada kendala!"

Kali ini kau menatapku. Tapi tak ada senyummu untukku. Tanpa suara, tiga lelaki itu bergerak cepat, dan menghilang di balik pintu.

Seperti tadi. Ruangan ini kembali bisu. Hanya ada kau. Dan aku yang berada di sampingmu.

***

"Bodoh! Tinggal membagikan saja, kau tak bisa?"

"Tapi, Pak. Data yang...."

"Diam!"

Aku nyaris lupa. Kapan terakhir kau ujarkan kata bodoh. Namun, dari wajahmu aku tahu, kau berusaha lebih keras menekan amarahmu. Deru nafasmu memburu.

Lelaki berkaca mata itu, duduk tertunduk di hadapanmu. Menunggu.

"Dengar! Dua hari sebelum hari H, dana tersebut harus dibagikan! Caranya? Itu urusanmu!"

"Iya, Pak!"

"Sudah! Keluar sana!"

Aku pun hampir lupa. Kapan terakhir kau mengusir seseorang dari ruang bisu. Sesaat matamu menatap layar televisi. Bergantian, terlihat tayangan orang-orang yang berdiri antri. Berdesakan dan memanjang.

"Sial!"

Kau menatapku tajam. Aku memilih diam.

***

Hampir satu jam, lelaki berambut pendek itu duduk diam di hadapanmu. Kali ini, mengenakan pakaian seragam. Sikap tubuhnya tetap waspada. Matanya menatapmu. 

"Kau tak punya akses ke..."

"Punya, Pak! Tapi, sekarang mau lebaran. Masyarakat lebih memilih..."

"Iya. Aku mengerti. Lakukan yang biasa kau lakukan!"

"Siap, Pak!"

"Tetaplah bergerak senyap! Korona bisa dijadikan alasan, kan?"

Lelaki berseragam itu anggukkan kepala. Kemudian berdiri, sekilas tundukkan kepala, dan berlalu menuju pintu.

Kau memutar tubuhmu membelakangiku. Jika seperti itu, kau sedang sibuk dengan pikiranmu. Dan tak ada yang mau mengganggumu. Apalagi aku.

***

Sejak maghrib tadi, Sayup terdengar gema takbir dari televisi. Hampir tiga jam, kau membisu. Matamu tak sedikitpun lepas dari layar televisi.

Sesekali kau tersenyum, saat melihat tayangan wajah orang-orang yang riang. Kau tertawa melihat tayangan orang-orang yang berkerumun untuk berbelanja.

Kau terdiam, saat membaca angka-angka yang tertera di layar televisi. Tentang korban pandemi. Hingga terdengar ketukan pelan di pintu.

"Masuklah!"

Suaramu tertuju ke arah pintu. Wajah lelaki bertubuh sedikit gemuk, yang selalu memakai celana sebatas lutut, hadir di balik pintu. Berjalan cepat melintasi ruang bisu, dan tergesa duduk di hadapmu.

"Aman, kan?"

Lelaki itu membisu. Tangannya mengajukan ponsel serta sebuah gantungan kunci. Kulihat kau anggukkan kepala. Tersenyum puas.

"Semua sudah di mobil?"

"Sudah, Pak!"

"Bagus! Tak ada yang tahu, kan?"

BRAAAAK!

Kulihat beberapa bayangan hitam bergerak cepat dari arah pintu. Langkah-langkah terlatih berjalan menuju ke arahmu. Lelaki bertubuh gemuk itu duduk membeku. Kepalanya tertunduk kaku.

"Kalian memang benar-benar bodoh!"

PRANG!

Aku terkejut. Bukan oleh umpatan dan nada amarah yang terlontar dari mulutmu. Tapi, gantungan kunci itu, mendarat telak ke wajahku.

***

Ruangan itu kembali membisu. Seperti dulu. Aku pun membisu. Kali ini, tanpamu. Tapi wajahku retak karenamu.

Curup, 08.05. 2021

Zaldy chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun