Ini juga poin penting dari proses belajar-mengajar. Anak-anak memahami risiko, semisal dampak juga akibat yang dialami, jika tak melakukan apa yang diminta, atau bersikeras membantah apa yang dilarang.
Rumus "punish and reward" bisa digunakan. Walau dengan cara-cara sederhana.
Saat ramadan di masa kecilku dulu, Amak (ibuku) menerapkan rumus ini, dengan satu aturan baku. "jika ada yang tak berpuasa, maka saat berbuka tak boleh duduk di meja makan. Mesti memilih salah satu hukuman, menunggu di kamar atau di luar rumah."
Percayalah! Walau tak begitu terasa perih, tapi "hukuman" ini cukup membuat jera. Bukan tentang jatah menu berbuka. Tapi kehilangan momen menikmati hidangan itu bersama keluarga.
Â
Keempat. Belajar Menjaga Konsistensi.
Kukira semua sepakat. Ini hal yang tersulit yang bisa diterapkan. Bagi anak, terkadang yang terlihat dan kasat mata menjadi ukuran. Maka, orangtua pun, perlahan mesti belajar untuk menjaga konsistensi. Termasuk dalam hal ibadah.
Karena menjadi orangtua, tak sehari dua hari, maka ajaran yang diberikan pun, butuh contoh dan teladan yang tak berbatas waktu. Sulit, kan? Tapi, tetap bisa jika terus belajar, tah?
Menjadi lucu menuntut anak berpuasa sehari penuh, jika orangtua hanya setengah hari. Menuntut anak rutin mengaji, ternyata orangtua hanya sesekali memegang alqur'an.
Atau menjadi ambigu, ketika meminta bahkan memaksa anak menghapal sekian juz alqur'an, tetapi orangtua hanya mengingat surat pendek. Itu pun tak sampai sepuluh surat?
Apakah orangtua harus melakukan hal yang sama? Kukira, bukan begitu! Tetapi dengan menemani, mendampingi atau belajar bersama anak-anak, cukup untuk "menutupi" kekurangan itu!