Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

No Body is Perfect! Dalam Hal Ibadah, Orangtua dan Anak Saling Belajar

2 Mei 2021   21:48 Diperbarui: 2 Mei 2021   21:55 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ayah dan Anak yang ceria (sumber gambar: pixabay.com)

"Jika kamu tak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan ". (Imam Syafii)

Ramadan tak hanya bulan penuh berkah. Menjadi ruang untuk berlomba melaksanakan ibadah. Namun, Ramadan juga menyiratkan makna sebagai bulan "tarbiyah" (pendidikan).

Ketika berjuang menahan lapar dan haus, sesungguhnya tanpa sadar, kita belajar dan dilatih untuk merasakan apa yang dialami oleh orang-orang di sekitar, yang nyaris setiap hari terpaksa merasakan kondisi itu, kan?

Ketika terjaga dini hari untuk sahur, atau menunggu pergerakan jarum jam yang terasa semakin lamban jelang waktu berbuka, kita belajar untuk patuh, disiplin serta menata sabar hingga waktu berbuka tiba, tah?

Ketika terjebak pada situasi konflik di tempat kerja yang bisa memancing amarah dan memperuncing masalah, kita dituntut untuk menahan ego dan emosi. Agar suasana tetap terkendali dan tak merusak nilai ibadah puasa, kan?

Tiga paragraf yang diawali kata "ketika" di atas, merujuk pada kata "menahan diri". Suatu kemampuan yang bisa saja terlupakan, saat menjalani keseharian di luar bulan Ramadan.

Berpijak ungkapan Imam syafii serta 3 paragraf itu, menjadi tuntunanku saat mengajak dan mengajarkan anak-anak ibadah di bulan Ramadan.

Ilustrasi Ibu dan Anak membaca buku (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Ibu dan Anak membaca buku (sumber gambar: pixabay.com)
4 Panduan Pendidikan Ibadah Saat di Rumah.

Tema samber THR Kompasiana hari ini, keren! Bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Jadi, aku tulis, caraku mendidik anakku di rumah, ya?

Pertama. No body is Perfect! Maka Orangtua Belajar dan Berusaha Memberi Teladan

Jika guru memiliki kredo "digugu dan ditiru", aku tak tahu kata yang pantas bagi orangtua. Kecuali kalimat yang sayup-sayup digaungkan, "Jika ibu adalah madrasah, maka Ayah adalah kepala sekolah".

Sependektahuku, tak ada yang paling ampuh selain memberi teladan. Baru kemudian mengajarkan. Kalau bahasa kampungku, "jangan cuma menunjuk, tapi mesti mampu menunjukkan!".

Contoh sederhananya, bagaimana menagih anak-anak untuk menjalankan puasa dan ibadah lainnya, jika orangtua sama sekali tak melakukan itu?

Seekor kucing mungkin akan tertawa, jika yang mengajarkan cara terbang adalah seekor buaya!

Kedua. Menjelaskan Tujuan dan Manfaat.

Di grup parenting, acapkali aku mendengar keluhan anggota grup, anaknya begitu sulit diajarkan membaca dan mengaji. Padahal dua keterampilan itu penting untuk bekal anak mereka.

Aku khawatir, jejangan orangtua abai menjelaskan, tujuan dan maanfaat apa saja yang bisa didapatkan, jika sang anak memiliki kemampuan membaca dan mengaji. Orangtua menyuruh dan memaksa belajar, tapi anak tak tahu tujuan dan manfaat dari mempelajari itu.

Menjelaskan tujuan dan manfaat dari melakukan sesuatu, akan membantu anak untuk mengerti kenapa mereka harus melakukan itu. Sama halnya dengan menjelaskan tentang berpuasa? Tak hanya sebagai tuntutan ibadah semata, tapi anak juga mengerti tujuan dan manfaat puasa.

Jika tidak? Maka anak-anak akan merasa seperti penumpang kendaraan antar kota antar propinsi. Diajak berjalan jauh, tapi sopir sama sekali tak tahu arah serta tujuan.

Ketiga. Menggunakan Rumus "Punish and Reward".

Ini juga poin penting dari proses belajar-mengajar. Anak-anak memahami risiko, semisal dampak juga akibat yang dialami, jika tak melakukan apa yang diminta, atau bersikeras membantah apa yang dilarang.

Rumus "punish and reward" bisa digunakan. Walau dengan cara-cara sederhana.

Saat ramadan di masa kecilku dulu, Amak (ibuku) menerapkan rumus ini, dengan satu aturan baku. "jika ada yang tak berpuasa, maka saat berbuka tak boleh duduk di meja makan. Mesti memilih salah satu hukuman, menunggu di kamar atau di luar rumah."

Percayalah! Walau tak begitu terasa perih, tapi "hukuman" ini cukup membuat jera. Bukan tentang jatah menu berbuka. Tapi kehilangan momen menikmati hidangan itu bersama keluarga.

 

Keempat. Belajar Menjaga Konsistensi.

Kukira semua sepakat. Ini hal yang tersulit yang bisa diterapkan. Bagi anak, terkadang yang terlihat dan kasat mata menjadi ukuran. Maka, orangtua pun, perlahan mesti belajar untuk menjaga konsistensi. Termasuk dalam hal ibadah.

Karena menjadi orangtua, tak sehari dua hari, maka ajaran yang diberikan pun, butuh contoh dan teladan yang tak berbatas waktu. Sulit, kan? Tapi, tetap bisa jika terus belajar, tah?

Menjadi lucu menuntut anak berpuasa sehari penuh, jika orangtua hanya setengah hari. Menuntut anak rutin mengaji, ternyata orangtua hanya sesekali memegang alqur'an.

Atau menjadi ambigu, ketika meminta bahkan memaksa anak menghapal sekian juz alqur'an, tetapi orangtua hanya mengingat surat pendek. Itu pun tak sampai sepuluh surat?

Apakah orangtua harus melakukan hal yang sama? Kukira, bukan begitu! Tetapi dengan menemani, mendampingi atau belajar bersama anak-anak, cukup untuk "menutupi" kekurangan itu!

Ilustrasi Ayah dan Anak belajar bersama (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Ayah dan Anak belajar bersama (sumber gambar: pixabay.com)
Dalam Hal Ibadah, Orangtua dan Anak Saling Belajar

Hematku, khusus urusan ibadah. Orangtua tak hanya mengajarkan. Tapi juga kembali belajar. Sebab belajar tentang ibadah tak memiliki ukuran serta ijazah. Dan, tak ada limitasi waktu. hingga maut hadir sebagai pembatas waktu belajar.

Jadi? Dengan alasan itu, sebagai orangtua, dalam hal mengajarkan anak Ibadah di bulan Ramadan, aku masih belajar dan berusaha menerapkan 4 cara di atas.

Hasilnya? Aku belum bisa tuliskan. Karena belajar adalah sebuah proses yang butuh waktu panjang. Ketika anak menjalankan ibadah dengan kesadaran sendiri, itu adalah bonus bagiku.

Demikianlah. Salam.

Curup, 02.05.2021

Zaldy chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun