Samantang kito urang nan tahu, ulemu padi nan kadipakai"
Ini pepatah Minang yang sekarang kujadikan panduan bagi diriku dalam menulis. Maknanya adalah "Jika bicara berpikir dulu, ingat lagi sebelum kena akibatnya. Jangan pernah merasa paling tahu, pakailah ilmu padi".
Bagiku, menulis adalah layaknya berbicara. Yaitu menggunakan tulisan, bukan lisan. Jika menilik makan dari pepatah di atas, maka ada satu PR terbesar bagiku dalam hal menulis.. Di luar hal teknis kepenulisan yang memang masih amburadul.
Kesulitanku adalah, bagaimana caranya memilih kata-kata dalam tulisan tanpa bermaksud mengajari. Aku terkadang, merasa malu saat membaca ulang tulisan-tulisan yang lama. Seakan-akan aku paling tahu dan terkadang sok tahu! Hiks....
Aku acapkali terpukul, jika membaca kolom opini atau esai dari Gunawan Muhammad, Syafii Maarif, Rosihan Anwar, Emha Ainun Najib atau Zawawi Imron. Atau cerpen-cerpen karya penulis ternama yang acapkali hadir di surat kabar nasional.
Bahasa yang mereka gunakan, membuatku penasaran, cemburu, iri hati bahkan nyaris putus asa. Entah bagaimana cara mereka menaklukkan dan mempermak kata-kata, sehingga diriku tergugah, bila membaca karya mereka. Rasa iri yang bikin perih! Hiks lagi...
Namun, aku mengerti. Kualitas mereka tak ujug-ujug dihadirkan dari langit. Mereka telah mencicipi asam garam kehidupan yang pekat dan lekat. Hingga mampu melahirkan karya-karya berkelas. Dan, tentu saja itu butuh waktu.
Begitulah! Jika ditanya, target skill apa yang mau kutambah selama Ramadan? Sudah kuuraikan, tah? Menambah skill menulis! Karena, waktuku lebih banyak senggang di saat Ramadan.
Jika di tahun pertama, dengan modal nekad. Targetku adalah bisa menulis konsisten dan menayangkan tulisan yang bisa dibaca orang lain.
Maka pada tahun kedua, targetku bertambah lagi. Tak hanya menayangkan tulisan secara konsisten, tapi kalau bisa tulisanku memberi manfaat dan berguna bagi orang lain. Walau belum tahu cara mengukurnya.