Bagi GMW Irene Kharisma Sukandar, tak hanya membawa pulang hadiah uang 200 juta. Namun juga memperkuat sikap pendirian dan keyakinannya, bahwa untuk menjadi pecatur yang memiliki kualitas, tak cukup dengan sekadar mengisi waktu senggang.
Kemenangan itu, sebagai satu titik dari panjang garis karir yang dirintisnya sejak kecil hingga meraih gelar GMW. Butuh pembuktian dari perjuangan dan pengorbanan yang sudah dilalui. Hingga hari ini, sosok Irene pun, mudah dijumpai wara-wiri di beragam media sebagai bintang tamu.
Bagi Dadang Subur, tak hanya mendapatkan uang tampil dengan nominal 100 juta. Namun menjadi tahu, sambil merenungi jejak peristiwa itu bermula. Juga mengerti, menjadi pecatur hebat, tak bisa ditempa dengan segelas kopi dalam sesi pengisi waktu luang.
Selain itu, beliau cukup beruntung. Netizen memiliki jiwa sportifitas dan mental suportivitas. Ada "pemakluman" terhadap hasil akhir. Jika pun ada yang menghujat, itu sebagian kecil. Tak cukup menjadi bumbu penyedap perundungan massal. Â Â
Bagi netizen? Idealnya, cukup untuk mengajak siapapun agar belajar lebih arif lagi. Tak mudah tergoda melakukan perundungan. Namun, juga susah menggunakan jari telunjuk, mencari netizen yang mana atau siapa? Tapi, tataran idealnya begitu, tah?
Walau tak persis sama. Permainan catur, permainan di masa kecil semisal permainan Ludo atau Halma, memiliki konsep serta tingkat kerumitan yang berbeda.
Secara kiramologi, setidaknya ada 3 alat ukur untuk menguji kemampuan seseorang dalam bermain.
Pertama. Penguasaan Teori.
Secara akademis, teori itu lahir karena pelajaran, kebiasaan atau pengalaman yang bisa dibuktikan. Begitu juga dalam permainan catur, ludo dan halma. Jika dibelah menjadi dua kubu, bermain catur adalah seni menyerang dan seni bertahan.
Bagi praktisi dan penikmat catur yang menyukai seni menyerang, Nama Michael Tal menjadi salah satu pilihan. Permainan pemilik julukan "Magician from Riga" itu, punya langkah-langkah taktikal serta pengorbanan yang penuh kejutan.