***
Pada suatu sore, Mak Isah dibiarkan menonton sendirian tayangan sebuah film dokumenter. Kisah kehidupan sehari-hari seorang lelaki tua, yang memutuskan tinggal sendiri di hutan. Memilih tinggal jauh dari anak, menantu serta cucu. Setelah kematian sang istri.
Tak ada yang bertanya, saat Mak Isah berjalan pulang dari rumah tetangga sambil menahan tangis, usai menonton film itu. Semua tahu. Mak Isah akan tersenyum bahkan tertawa jika kisah film berakhir bahagia. Mata tua itu akan berlinang air mata, jika berakhir duka.
"Bagaimana kalau lelaki itu sakit?"
"Untuk apa keluarga?"
"Bagaimana jika dia..."
Malam itu, Mak Isah tidur setelah malam begitu larut. Isi kepalanya sibuk mencari alasan yang tepat dari keputusan lelaki tua itu. Namun, saat bayangan tentang anak dan cucu lelaki tua itu hadir. Mak Isah mengakhiri bayangan itu dengan satu kesimpulan. Tega!
***
Karena rutin datang menonton, Mak Isah memiliki posisi strategis. Persis di depan televisi, di sebelah meja kecil di ruang keluarga. Mak Isah tak terbiasa duduk di kursi, dan lebih memilih duduk selonjoran di lantai.
Dengan alasan tak ingin merepotkan pemilik rumah, Mak Isah membawa bantal sendiri. Dua bantal tipis yang terbuat dari perca dan kain bekas. Dua kali seminggu, kedua bantal itu dibawa pulang untuk dijemur. Biar tak bau.
Satu minggu ini hujan seperti memiliki jadwal sendiri. Turun setelah waktu asar dan berhenti menjelang azan subuh. Membuat orang-orang enggan keluar rumah. Dan, sudah dua hari pula Mak Isah tak bertandang untuk menonton televisi.