Siapa yang bertanggung jawab? Beberapa alternatif sesungguhnya pernah ditawarkan. Lingkungan dan keluarga bertanggung jawab di lingkaran awal. Kemudian, lembaga pendidikan bisa membuat pembiasaan penggunaah bahasa daerah. Jadi, tak hanya "English Day" atau "Yaumul Lughah al 'araby" tapi juga semisal "Sedino Boso Jowo", "Susudaan" dan seterusnya.
Susahnya. Dalam kurikulum, keberadaan yang beraroma kedaerahan, masih diletakkan pada posisi muatan lokal (mulok) bukan wajib. Padahal, semua sepakat dengan kalimat "wajib" melestarikan budaya bangsa. Tumpang tindih antara kenyataan dan harapan, kan?
"Bahasa daerah hanya dimengerti sebagian orang, Bro! Maka, gunakanlah bahasa Indonesia."
Aih. Aku pun sepakat dengan ujaran itu. Bahwa bahasa Indonesia menjadi solusi paling logis untuk mengatasi perbedaan makna jika berkomunikasi dan berinteraksi dengan bahasa ibu.
Namun, seberapa kuat menggunakan dan mempertahankan hal itu dalam keseharian. Apalagi jika berhadapan dengan anak muda? Tak hanya bahasa asing, namun juga "jajahan" bahasa gaul. Aku cerita pengalamanku, ya?
"Uni, kita jalan, yuk?"
"Lagi mager, Yah!"
"Aih. Ayah jalan dengan Kakak aja!"
"Ciyeee! Ayah baper?"
Begitulah! Pilihan kata dalam komunikasi sekarang, susah ditebak! Karena memiliki anak jelang remaja, sebagai ayah aku musti cepat beradaptasi dalam berkomunikasi, biar tak salah-salah mengerti.