Apa pun jalan yang digunakan. Baik melalui lisan atau tulisan. Hematku, ada tiga ornamen dalam sebuah kritik.
Pertama. Pemberi Kritik.
Masa sekolah dulu, temanku yang sering memberi kritik diganjar dengan julukan "siswa kritis". Biasanya, disukai guru. Karena aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Tak jarang, ada kebanggaan tersendiri jika mendapat gelar itu.
Guruku selalu mengingatkan. Jangan asal kritik. Jika menyanggah atau mengajukan kritik. Mesti paham dan mengerti dulu jadi, akan bermanfaat. Rumusnya jelas, "Jangan pernah mengkritik yang kamu sendiri tak mengerti".
Menurutku, aroma dan fenomena kritik saat ini tak lagi begitu. Tak harus menyerap beragam informasi, menganalisis dengan proses "triangulasi", baru bersuara. Cukup membaca judul, sudah bisa mengkritik isi. Kritik menjadi penyakit "latah" yang menular.
Kedua. Penerima Kritik.
Jika menulis bab penutup sebuah karya tulis, berupa skripsi, tesis atau disertasi. Ada pakem yang harus dimasukkan. Kurang lebih dengan kalimat, "Peneliti (penulis) menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan penelitian (penulisan) ini."
Begitu pun dengan pejabat atau pimpinan perusahaan. Berani, yakin dan tak sungkan dengan ungkapan, "akan terbuka dan siap menerima kritik". Aku tak akan menyigi faktanya, apakah demikian?
Logikanya, jika "mengundang" kritik. Artinya menyadari ada kekeliruan, tah? Semakin banyak kritik, semakin banyak yang keliru. Sebab, tak akan hadir kritik dalam sebuah kebenaran.
Ketiga. Materi kritik dan cara menyampaikan kritik.