Sabtu. Pukul 04.47. (Jelang Subuh)
Saat ini, kau tahu yang kuinginkan?
Meminta semua orang cukup mengingat sebagai garisNya, kemudian mengurung kata "kematian" dalam kesepian di ruang hampa!
Hingga puing-puing kenangan tentang jejak kehidupan, satu-persatu menyerah pasrah pada kerelaan. Dan, menikmati ketenangan perjalanan panjang dalam kendaraan bernama kehilangan.
Jika tidak? Maka pernyataan dan pertanyaan untuk sepatah kata itu, akan bergelimang cairan empedu.
Tak ada yang mampu menakar air mata di antara jejak-jejak kehidupan. Dan, tak ada yang tahu berapa ukuran air mata tertuju di ujung peristiwa kematian. Ketika tertinggal satu pertanyaan tanpa butuh jawaban, "untuk apa?"
Kau mau tahu yang kupikirkan?
Kematian bermula dari kehidupan. Sebab, tak pernah ada kematian tanpa kehidupan. Namun, bukan akhir perjalanan!
Bagiku, bila kelahiran menjadi pintu gerbang kedatangan. Maka kehidupan adalah titik awal persinggahan. Kematian hanya satu titik kepulangan. Dan, kembali bersiap memulai langkah baru pada titik singgah berikutnya.
Aku tak tahu makna sesungguhnya dari kematian. Jika bermakna tiada, maka Ia tak akan menitipkan residu dalam pikiran. Berwujud ingatan serta rerimbun keinginan yang tertahan.
Entah sisa suka, mungkin duka. Atau, sebuah diorama pajangan gerai tawa. Juga derai air mata.
Pada kata. Aku kembali mengeja satu tanda.
Baru dua minggu lalu, aku kehilangan seorang sahabat peracik kata. Kemarin, kembali harus kurasakan. Usai membaca kabar terakhir seseorang penyair. Bukan kematian, tapi kepergian.
"Maka, biarkan ribuan tanda koma mengejar torehan penyair. Berlarian mengeja satu tanda sebagai peristirahatan terakhir. Titik."
Untuknya, maukah kau berucap sebagai kepergian?
Ia pergi, tanpa kata. Dan kembali, padaNya.
Curup, 06.02.2021
zaldychan
Tuk Abdul Azis: Tenanglah bersamaNya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H