Aku tak bisa menghentikan keluhanmu. Sama halnya, saat kau berkicau tentang Pantai Lombang-Lombang yang masih alami. Pantai Manakara yang berpasir putih. Dan Pallipis, pantai favoritmu untuk ditawarkan kepada wisatawan. Terutama dari mancanegara.
Sesungguhnya, akupun ingin berkisah tentang Pantai Panjang Bengkulu. Tentang pasir pantai yang tersaji sepanjang mata memandang. Atau Benteng Marlborough peninggalan Inggris. Tapi, jaraknya terlalu jauh dari tempatku. Butuh dua jam perjalanan.
Aku lebih memilih bercerita tentang pemandian Suban Air Panas yang sekarang sudah memiliki kolam renang, jalur pendakian alami Gunung Api Kaba, serta jernihnya air terjun Curup Embun.
"Mamuju juga punya air terjun, Bang! Ada air terjun Malute. Nah, kalau air terjun Tamasapi, tingginya puluhan meter, Bang! Di pegunungan!"
Lagi. Aku tak akan menghentikan ceritamu. Bagimu, daerah kelahiranmu adalah yang terindah. Dan, aku sepakat denganmu. Semua orang akan begitu, tah?
"Maaf, Bang. VCÂ tadi terputus. Sinyal cenat-cenut!"
Pesan itu kubaca, pada hari kedua tahun baru. Dan, kita berdua tahu, ponsel tak lagi memisahkan ruang, jarak dan waktu. Tapi, sinyal acapkali mengganggu.
Subuh jumat, dua minggu lalu. Aku mendengar kabar Gempa di Mamuju. Dan, aku mengingatmu.
Belasan panggilan tak terjawab. Puluhan pesanku tak pernah ada balasan. Bukan centang biru. Hanya centang dua berwarna abu-abu. Tanda pesanku belum terbaca.
Hari pertama usai gempa. Berita televisi mengabarkan, getaran itu merenggut puluhan jiwa. Dua ribu orang harus tinggal di pengungsian.
"Kau baik-baik saja, kah?"