Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Selamat Jalan, Daeng! Akhirnya, Kau Leluasa Diskusi tentang Diksi Puisi

21 Januari 2021   17:37 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:13 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita Kepergian Kompasianer Arman Syarif (sumber gambar: HMJ PPKn FIS UNM, via akun Kompasiana Ahmad Abni)

Tentu saja aku mengenal sosok dan puisi karya Daeng Arman Syarif. Saling bertukar sapa dalam kolom komentar dan memberikan vote adalah ritual. Berkali, aku tanpa sadar terlibat dalam "pertarungan". Berlomba mengunggah puisi.

"Persaingan" tak langsung itu, melibatkan Pakde Ropingi, Pak Rustian, Mas Mim dan Mas Suko yang lebih senior. Serta Daeng Arman dan aku yang masih unyu-unyu. Acapkali dalam satu hari, bisa saja mengunggah 5, 7, hingga 10 puisi.

Jangan heran, pada perhelatan Kompasianival 2019. Daeng Arman Syarif mendapat penghargaan sebagai Penulis Paling Aktif yang mencapai lebih dari 900 tulisan dalam satu tahun dari Kompasiana.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Sosok Pemberontak dan Perindu

Dua hal ini, gampang diketahui jika mengikuti perjalanan tulisan Daeng Arman. Kritikan atas ketidakadilan dituangkan dalam puisi dengan diksi yang singkat dan bernas. Sangat mudah "menuduh" Daeng pernah sebagai mahasiswa yang "nakal" juga seorang demonstran.

Kata "demokrasi", "nasionalisme", "kapitalis", akan berbaur dengan diksi "batu", "waktu", "rindu", dan "kopi". Kusajikan 5 kutipan di antara ribuan puisi Daeng Arman. Berbincang tentang diri sendiri, orang-orang di sekitar, keinginan, juga tentang Tuhan.

Pertama. Kutipan puisi berjudul "Tuan Kapitalis Gigit Jari, Bumi Sehat" (Gowa, 19 April 2020)

Tuan kapitalis, kamu gigit jari kan?
merosot laba pemasukan
melangit target terabaikan
lantaran makhluk kecil mematikan

Inilah jalan kapitalisme menuju kematian
terhebat sepanjang sejarah kemanusiaan

Kedua. Kutipan puisi dengan judul "Aku Penyuka Batu" (Gowa, 12 Mei 2020)

Aku penyuka batu
dari batu
kupetik satu kebenaran
tentang hakikat kerelaan
seperti merelakan hujan pergi
tanpa kesenduan abadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun