Tentu saja aku mengenal sosok dan puisi karya Daeng Arman Syarif. Saling bertukar sapa dalam kolom komentar dan memberikan vote adalah ritual. Berkali, aku tanpa sadar terlibat dalam "pertarungan". Berlomba mengunggah puisi.
"Persaingan" tak langsung itu, melibatkan Pakde Ropingi, Pak Rustian, Mas Mim dan Mas Suko yang lebih senior. Serta Daeng Arman dan aku yang masih unyu-unyu. Acapkali dalam satu hari, bisa saja mengunggah 5, 7, hingga 10 puisi.
Jangan heran, pada perhelatan Kompasianival 2019. Daeng Arman Syarif mendapat penghargaan sebagai Penulis Paling Aktif yang mencapai lebih dari 900 tulisan dalam satu tahun dari Kompasiana.
Dua hal ini, gampang diketahui jika mengikuti perjalanan tulisan Daeng Arman. Kritikan atas ketidakadilan dituangkan dalam puisi dengan diksi yang singkat dan bernas. Sangat mudah "menuduh" Daeng pernah sebagai mahasiswa yang "nakal" juga seorang demonstran.
Kata "demokrasi", "nasionalisme", "kapitalis", akan berbaur dengan diksi "batu", "waktu", "rindu", dan "kopi". Kusajikan 5 kutipan di antara ribuan puisi Daeng Arman. Berbincang tentang diri sendiri, orang-orang di sekitar, keinginan, juga tentang Tuhan.
Pertama. Kutipan puisi berjudul "Tuan Kapitalis Gigit Jari, Bumi Sehat" (Gowa, 19 April 2020)
Tuan kapitalis, kamu gigit jari kan?
merosot laba pemasukan
melangit target terabaikan
lantaran makhluk kecil mematikan
Inilah jalan kapitalisme menuju kematian
terhebat sepanjang sejarah kemanusiaan
Kedua. Kutipan puisi dengan judul "Aku Penyuka Batu" (Gowa, 12 Mei 2020)
Aku penyuka batu
dari batu
kupetik satu kebenaran
tentang hakikat kerelaan
seperti merelakan hujan pergi
tanpa kesenduan abadi