"Istighfar!"
"Lari!"
"Azan!"
"Teriak, Hidup Anak Adam!"
"Sembunyi di bawah meja!"
***
itu adalah beberapa jawaban yang kudengar dalam berbagai pelatihan kebencanaan. Ketika kuajukan satu pertanyaan di awal pertemuan, "jika terjadi gempa, apa yang biasa anda lakukan?"
Kalau bicara respons saat menghadapi getaran akibat gempa. Bisa saja, lebih banyak lagi jawaban yang diajukan, tah? Hal itu, tak hanya tentang besaran kekuatan gempa, tetapi pada situasi, kondisi juga faktor psikologis ketika gempa terjadi.
Setidaknya, ada 3 tahapan setiap orang ketika menghadapi situasi Gempa.
Tahap Pertama.
Naluri awal adalah menggerakkan tubuh dengan bereaksi. bergeser, atau berpindah tempat. Hal itu sebagai gerak refleksi serta adaptasi tubuh dari situasi yang terjadi. Tujuannya, menyelamatkan diri atau menemukan kembali rasa aman. Durasi waktunya, hanya sesaat.
Tahap Kedua.
Mulai berpikir serta menyusun ulang reaksi. Mempertimbangkan apa yang harus, atau sebaiknya dilakukan. Bisa saja menarik nafas lega karena merasa aman. Atau malah tertawa, usai menilai diri sendiri atau orang lain keliru bereaksi serta mencari tempat berlindung.
Tahap Ketiga.
Kemudian mencari tahu. Apakah berupa fakta atau data. Tentang pusat gempa, dampak kerusakan serta jumlah korban.
Apapun kondisinya, setelah memenuhi rasa ingin tahu. Kemudian mengambil hikmah. Namun ada juga yang mengolah ulang dan membagikan informasi yang didapatkan. Namun, banyak juga yang kemudian melupakan, tah?
Dalam Edukasi Bencana apatah berupa pendidikan atau pelatihan, 3 tahapan di atas, dibalik! Urutannya menjadi:
Pertama. Mencari tahu Ancaman serta Bahaya yang ada di sekitar. Apakah tempat tinggal, tempat kerja atau sekolah. Menentukan dan menetapkan titik aman di dalam dan di luar ruangan, serta dampak terburuk apa saja yang mungkin ditimbulkan.
Kedua. Usai mengetahui unsur ancaman dan bahaya, Selanjutnya mengajak berpikir, apa saja yang bisa dilakukan sebelum, saat dan sesudah terjadi gempa. Umumnya, kepanikan saat terjadi gempa, karena reaksi tubuh tak terbiasa diajak berpikir pada situasi genting.
Ketiga. Melakukan simulasi sebelum gempa terjadi. Jika dilakukan secara rutin, hal itu akan menjadi reaksi. Sebab otak dan anggota tubuh sudah terlatih. Kebiasaan akan menciptakan kebisaan. Sebaliknya, kebisaan hadir karena kebiasaan.
Gempa tak pernah membunuh, tapi bangunan! Ini rumus awal terkait bencana gempa. Korban luka hingga kehilangan nyawa didominasi oleh pembangunan. Keliru melakukan pembangunan, akan berubah menjadi ancaman.
Misalnya? Mungkin karena disain dan konstruksi bangunan yang tidak sesuai, atau pengabaian terhadap kajian struktur tanah, mungkin juga keliru perhitungan soal bahan material saat memulai pembangunan.
Bisa juga disebabkan mendirikan bangunan di area yang memang secara alamiah rentan. Semisal di daerah bantaran sungai, di perbukitan yang terus mengalami deforestasi atau penebangan pohon. Ketika ancaman bertemu kerentanan, hasilnya adalah bencana.
Membangun rumah dengan disain dan konstruksi yang kuat serta padat modal, namun berlokasi di tepi sungai atau tebingan dengan struktur tanah yang rawan longsor, juga bahaya, kan? Hujan dan gempa kecil pun, bisa saja berujung bencana.
Belajar dari Jepang, Simulasi Melatih Reaksi Menjadi Aksi
Secara geografis, Jepang mirip Indonesia. Negara kepulauan yang letaknya berada di "ring of fire" atau cincin api bumi yang membentang hingga ke daratan amerika selatan seperti Peru dan Chili. Panduan sederhana negara yang dilewati cincin api adalah memiliki gunung Api.
Tak terhitung bencana alam dengan kualifikasi besar menerpa Jepang. Walaupun menjadi salah satu negara yang ditahbiskan paling maju urusan teknologi. Namun, negara itu belum mampu "menekan" risiko berupa korban dan kerugian yang ditimbulkan.
Jika urusan kewaspadaan bencana negara-negara di dunia, Jepang termasuk paling waspada. Memiliki sistem edukasi bencana sejak sekolah dasar dan konsep mitigasi bencana yang banyak ditiru negara lain. Termasuk Indonesia.
Hingga hari ini, Jepang masih menyediakan hari libur secara nasional untuk melakukan simulasi bencana. Apatah berupa bencana gempa, tsunami, kebakaran atau gunung meletus. Itu pun ditambah pelatihan secara berkala di setiap distrik, perusahaan atau pusat pertokoan.
Apa manfaat simulasi? Tujuan simulasi itu antara lain :
1. Melatih reaksi tubuh berdasarkan olah pikir serta pengetahuan tentang ancaman dan risiko.
2. Mengenal struktur bangunan di sekitar dalam aktifitas keseharian.
3. Mencari tahu titik aman, titik bahaya jalur evakuasi dan titik pengungsian.
4. Menyadari harus melakukan apa atau siapa melakukan apa?
Orang-orang akan terlatih untuk mengetahui pihak mana saja yang bertanggungjawab jika terjadi bencana. Siapa mengarahkan, apa yang harus dilakukan? Tahapan dan proseduralnya bagaimana? Jadi tidak sibuk bermain telunjuk atau saling menunggu dan mengandalkan.
Mungkin, ini adalah tataran ideal, ya? Apalagi jika edukasi dan simulasi ini dilakukan sejak usia dini.
Aku sering melihat jika ada upacara atau acara yang melibatkan pejabat. Seringkali dilakukan rangkaian simulasi acara. Peserta malah akrab dengan kalimat dari pembawa acara, semisal:
"Acara ketiga. Kata sambutan dari....,free memory!"
"Acara terakhir, Doa! Free memory!"
Aku membayangkan, jika simulasi acara dan upacara seperti itu, juga biasa dilakukan dalam hal kebencanaan, ya?
Mungkin tak persis sama atau serapi dan secanggih yang dilakukan Jepang. Setidaknya, tak hanya simbolik dan seremonial, kan?
Curup, 19.01.2021
Ditulis untuk Kompasiana]
Taman baca : 1. Gempa dan Tsunami Tohoku 2. Fakta-fakta gempa Tsunami Jepang 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H