Perempuan itu turun dari motor. Melepaskan helm, sesaat memperhatikan wajahnya di kaca spion. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, berjalan pelan menyeberangi jalan. Mataku terpaku.
Pakaian terusan berwarna putih polos, membungkus tubuh yang tidak terlalu tinggi. Selaras dengan bawahan berwarna gelap. Gerak langkah yang terukur berpadu dengan ayunan dua kaki lentur, tertutupi sepatu hitam.
Saat tangan kanannya tiba-tiba menyentuh rambut legam yang terurai melampui bahu. Kurasakan detak waktu sekejap berhenti. Aku merasa iri pada angin siang, yang leluasa menyentuh helai rambut itu. Aku diam tak bergerak, saat tangan kanan itu terulur untukku.
"Gadis!"
***
Mulutku bertahan untuk menyimpan tanya. Aku percaya, setiap orangtua memiliki alasan, menitipkan doa serta harapan saat memberikan nama untuk anaknya. Tapi, benakku tak bisa bertahan. Kenapa perempuan di hadapanku ini, harus bernama Gadis?
Kenapa bukan Indah, Juwita, Jelita atau Ayu? Barisan nama yang kukira pantas. Entah kenapa, nilai kepantasan di jiwaku tergerak mempertanyakan nama itu. Setidaknya, salah satu dari pilihan nama itu, lebih pantas.
Namun, aku juga lega. Aku mengingat teman kecilku yang bernama Indah, perilakunya tak seindah namanya. Begitu juga Juwita yang sedikit tomboy, saat SMP tertangkap kasus narkoba. Atau Jelita yang terpaksa menikah muda sebelum tamat SMA.
Sejauh ini, satu-satunya yang menurutku pantas, adalah temanku semasa kuliah. Ayu memiliki tutur kata yang lembut, wajahnya keibuan dengan senyum tulus. Membuat teman lelakiku sepakat memilih tak tega untuk menyakiti.
Di balik semua pesona itu, ada satu alasan lagi. Ayu adalah pemegang sabuk hitam Tae Kwon Do. Hanya satu kali, kulihat Ayu bertarung di kejuaraan antar fakultas. Mengerikan!
Kini, kusaksikan Gadis menunduk. Tekun mengisi daftar isian yang tercantum di formulir. Diam-diam, aku berjanji tak akan menjadi Bandung Bondowoso, yang tega membiarkan Roro Jongrang terkurung membatu dengan segala kesempurnaan yang dimiliki.