"Selamat malam, Kamanakan nan kami sayangi."
"Tarimo kasih, Mamanda."
"Selamat pagi Ananda."
"Terima kasih, Bunda Lina."
Dua dimensi sapaan berbeda dari duo sosok panutan di Kompasiana ini, menjadi istimewa di hati dan kepalaku. Sejak bergabung di Kompasiana dua tahun lalu. Sebagai sosok senior, keduanya tak segan, dan masih setia menyapa serta memberi jejak di artikel yang aku tayangkan.
Alasan awalku, kami berasal dari tempat yang sama. Ranah Minang. Hal ini langsung "memperpendek" jarak dan menghapus sekat. Alasan berikutnya, Mamanda Tjipta kelahiran tahun 1943. Lebih muda satu tahun dari Amakku (sapaan untuk ibuku) kelahiran tahun 1942!
Aku tak akan menyigi perbandingan dengan Amak. Karena perbedaan pengalaman hidup, ruang juga waktu. Namun, di usia 77 tahun, Mamanda adalah sosok yang luar biasa dan layak ditiru..
Budaya anak rantau, "mengajakku" menyapa Beliau dengan sapaan Mamanda berasal dari kata Mamak atau Paman. Bukan Opa, Pak atau Ayah. Sebab, sapaan Mamanda atau Mamak dalam budaya Minang, nyaris setara untuk sosok seorang Ayah.
Beliau dengan kerelaan hati, menyapaku dengan sebutan "Kamanakan" yang bermakna keponakan. Kamakan adalah orang kedua sesudah anak. Kedekatan itu tergambar dalam Pepatah Minang, "Anak dipangku, Kamanakan dibimbiang".
Sebaliknya, aku malah "menabrak" aturan Minang, ketika menyapa istri Beliau. Dalam adat, jamaknya Istri Mamak itu disapa "Mintuo". Jadi, karena Bunda Lina istri dari Mamanda Tjipta, seharusnya kusapa "Mintuo Lina".
Karena khawatir, terjadi salah pengertian, pada kata 'tuo" yang dimaknai "tua", terus sapaan "Mintuo" yang bermakna istri Paman atau Mamak, malah dianggap "mertua". Bakal tambah gawat, kan? Jadi, kupilih sapaan "Bunda" Â saja.