Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepak Sayap Putih Abu-abu [4]

3 Januari 2021   16:43 Diperbarui: 3 Januari 2021   17:25 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar anak lelaki (sumber gambar: pixabay.com)

Azki terjatuh. Tubuhnya melengkung. Kedua tangannya menutupi wajah. Fahmi terkejut. Semua siswa kelas satu terkejut. Seisi sekolah menoleh ke halaman.

Fahmi langsung membungkuk, memegang bahu Azki. Berusaha mengajak berdiri. Wajahnya terlihat cemas.

"Aduh! Maaf, ya? Itu tadi spontan. Habis kamu..." Ujar Fahmi nyaris berbisik.

Tak ada sahutan. Wajah Azki meringis. Matanya terpejam. Tiba-tiba Azki melentingkan tubuh sambil jumpalitan. Dengan senyum menggoda. Semua siswa kembali mendapat kejutan. Fahmi tersadar, barusan dipermainkan lagi.

"Untung halaman ini bersih. Seragamku tidak kotor." Ucap Azki sambil merangkul bahu Fahmi. Senyuman tak lepas dari bibirnya.

"Kau..."

Kecemasannya sirna. Berganti gemas. Tangan kanan Fahmi berusaha meraih tubuh Azki, yang segera mengelak dengan berlari di antara barisan. Fahmi mengejar. Barisan menjadi kacau. Namun, terhenti saat Azki mengangkat tangan. Menyerah.

"Pukulanmu tadi, bagus."

"Karena, kau tadi..."

Fahmi tidak menyelesaikan kalimatnya. Azki memandang dengan wajah bermakna permintaan maaf.

"Aku pukul bahumu. Kenapa yang sakit wajahmu?"

"Itu trik! Kalau ada wasit, aku yang menang. Kau didiskualifikasi!"

"Kau memang..."

Fahmi semakin geregetan. Rasanya ingin memukul sekali lagi. Azki tertawa.

"Hei! Kamu berdua. Maju!"

Tiba-tiba terdengar suara keras dari barisan paling depan. Sosok seperti tentara berseragam putih-putih memanggil Azki dan Fahmi. Rupanya komandan upacara tadi. Semua anak kelas satu menoleh ke belakang. Azki dan Fahmi bertukar pandang. Kemudian perlahan maju.

"Anak ini lagi!" Azki mendengar satu celetukan, saat melewati barisan anak perempuan. Matanya segera melotot mencari sasaran. Anak-anak perempuan serentak tegang.

"Cepat! Berdiri di sini. Sikap sempurna!"

Rentetan perintah mengalir deras. Keduanya berdiri kaku. Azki menatap orang yang memberikan perintah. M. Irfan! Azki membaca papan namanya. Fahmi menekuk kepalanya.

"Baru kelas satu. Sudah banyak tingkah!"

Azki dan Fahmi diam.

"Mulai detik ini hingga dua jam ke depan, aku yang mempunyai hak atas diri kamu berdua. Juga kalian semua!".

Lagi suara Irfan terdengar. Semakin keras dan tegas. Anak-anak kelas dua dan kelas tiga terlihat sibuk membersihkan kelas.

Beberapa siswa, sudah berganti pakaian dengan kaos berwarna hijau muda, dengan tulisan besar-besar. PANITIA MOS SMA BAKTI 1.

"Kau pimpin teman-temanmu baris-berbaris. Mengerti!".

Azki kaget. Mata Irfan masih mengarah padanya. Wajahnya pucat. Bukan takut dengan suara keras itu. Tapi seumur hidup, jangankan memimpin! Azki belum pernah berlatih baris-berbaris. Apalagi harus memimpin dua ratus orang?

"Tapi..."

Azki angkat suara. Wajahnya mengharapkan pengertian. Fahmi masih menunduk. Azki gusar! Nih anak, dari tadi mengheningkan cipta terus!

"Tanpa bantahan. Ini perintah. Ingat! Aku yang mengatur."

"Aku belum pernah..."

"Joni! Ajari anak ini cara memimpin."

Irfan memanggil seorang anak berseragam kaos hijau muda.

"Siap..., Kak!"

Sosok yang disapa Joni, mendekat. Sikapnya kaku seperti robot. Azki tersenyum, membayangkan Robocop, atau mungkin Power Rangers. Namun tak lama. Isi kepalanya sibuk memikirkan bagaimana cara memimpin.

Azki sering ikut upacara hari senin seperti tadi, melihat upacara tujuh belasan di televisi, juga pernah melihat anak-anak lomba gerak jalan. Tapi ia tidak pernah memimpin barisan. Bukannya tidak mau, tapi tidak sempat.

"Nama!"

Suara keras Irfan terdengar lagi. Azki masih sibuk dengan pikirannya. "Hei! Sebutkan nama!" Suara Irfan kali ini menggelegar. Azki kaget. Kepala Fahmi semakin merunduk.

"Apa, Kak"

"Nama!"

"Nama apa?"

"Nama kamu bodoh! Nama siapa lagi?"

Suara itu semakin keras. Anak-anak kelas satu semua diam, tak ada yang bergerak.

"Azki!"  Jawaban pendek namun tegas, keluar dari mulut Azki.

Perlahan raut wajahnya mengeras. Tangannya keras  mengepal, dan gemetar. Jantungnya berdetak kencang. Matanya menatap tajam, tertuju pada sosok di hadapannya. Seperti seekor pemangsa yang siap menghabisi buruan.

Kisah sebelumnya [1], [2] dan [3]

Curup, 03.01.2021

Zaldychan

[Hari Penuh Warna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun