Di Pantai Panjang Bengkulu. Senja itu, matahari memburu garis horizontal di tengah lautan. Membatasi jarak pandang Ayu untuk menikmati langit jingga dengan utuh.
"Maukah kau menikah denganku?"
Agung, yang sejak tadi berdiri diam di sisi Ayu, tiba-tiba berjongkok. Meletakkan lutut kanannya ke pasir pantai. Tak peduli, riak ombak yang membasahi celana dan sepatu. Tangan kanannya, mengajukan kotak kecil berwarna merah jambu kepada Ayu.
Teman, anggaplah dua paragraf di atas, sebagai potongan sketsa sebuah telenovela. Satu prosesi lamaran yang mungkin diimpikan para bucin. Atau, pemantik sesal pasangan usia tua yang tak sempat melakukan seperti sketsa itu.
Itu bukan sekadar sebuah lamaran. Namun, sebuah tawaran komitmen bersama dari seorang lelaki kepada kekasihnya. Para penyuka kisah happy ending, memilih perempuan menjawab, "Iya! Aku bersedia." Maka, perempuan itu mengikat diri pada kekasihnya.
Penyuka twisted atau sad ending, memilih reaksi sebaliknya. Jawaban "tidak!" atau malah perempuan itu digambarkan berbalik badan, berlari meninggalkan sang lelaki tanpa jawaban, bisa saja sebagai tanda penolakan.
Ucapan "Aku mencintaimu", "Aku bersedia" atau "Aku berjanji" itu, kuanggap sebagai sebuah komitmen. Wujud kesepakatan sekaligus penyerahan diri. Itu sangat mudah diucapkan.
Kemudian, tersisa satu pertanyaan. Mampukah konsisten dengan komitmen yang sudah diujarkan? Jika semua mampu, agaknya, tak akan pernah ada perpisahan, perceraian atau perselingkuhan kecuali kematian, tah?
Kukira, begitu juga dalam hal menulis. Berkomitmen untuk menulis itu gampang! Namun, mampukah konsisten untuk terus menulis?
Tanggal hari ini, aku merayakan genap dua tahun, menjadi bagian dari keluarga besar Kompasiana. Kalau dalam kompetisi Basket NBA, aku baru masuk barisan pemain tahun kedua atau Shopomore!
Bila diibaratkan seorang anak balita. Maka, usia dua tahun adalah masanya anak berlarian secara liar, yang sibuk mencari kestabilan. Jika lulus sebagai PNS, maka tahun kedua ini, aku baru lepas dari posisi CPNS serta berhak mencicipi gaji 100 persen!
Di Kompasiana? Aih, mari mengintip Akun Mamanda Tjiptadinata Effendi, Pak Katedrarajawen, Mas Hendro Santoso, Uda Irwan Rinaldi Sikumbang atau Prof Felix Tani serta Pak Rustian Al Ansori. Maafkanlah, pada beberapa nama yang terlewatkan.
Nama-nama di atas, lebih dari cukup untuk dijadikan teladan. Tak hanya berkomitmen untuk menulis, tetapi mampu menjaga konsistensi melahirkan ribuan tulisan. Nyaris setiap hari tersaji di Kompasiana.
Hematku, hal itu bisa diajukan sebagai bukti, level komitmen serta konsistensi, kan? Â
Pada statistik yang tertera di akun profilku, jumlah tulisan yang kuunggah berdiam tenang di angka 1.196 artikel. Dari sisi kuantitas, angka itu pencapaian tak terduga sekaligus tak terhingga.
Namun, banyak penulis favorit serta menjadi panutanku, walau belum mencapai angka 1000 artikel. Namun kualitas tulisan mereka luar biasa. Jumlah adalah masalah ketersediaan kesempatan, ruang juga waktu, kan?
Hal itu, mengajari aku. Lama waktu serta jumlah tulisan, tak berbanding lurus dengan mutu tulisan. Juga memberi tahu, aku masih harus belajar "menambah gizi" tulisanku. Agar dianggap berkualitas.
Susah? Para tetua Kompasiana, kukira pernah melalui rute ini, tah?
Banyak hal yang kualami dalam jejak kepenulisanku di Kompasiana. Khususnya di awal bergabung. Tak hanya urusan gagap teknologi, akupun harus melakukan perang gerilya dengan sinyal dan hujan, agar tulisan bisa tayang. Apalagi aku tinggal di Kaki Bukit Barisan
Aku pernah mengunggah lebih dari lima artikel dalam bentuk puisi dalam satu hari. Pernah pula merasakan perih, bila tulisan tidak diberi label. Pernah tersenyum sendiri, sambil bersyukur dalam hati, usai tayang, tertera label warna biru bertuliskan "PILIHAN".
Aku acapkali teriak dan meloncat kegirangan, hingga keluarga dan teman-temanku keheranan. Saat aku tahu, tulisanku diganjar Artikel Utama oleh Admin. Tidakan itu, masih kulakukan hingga hari ini. Malah seperti ritual! Hihihi...
Berbagi artikel, berbagi pengalaman dan berbagi pengetahuan sesama kompasianer, menjadi peluru gratis bagiku menuju medan perang kesulitan menulis. Beberapa buku antologi lahir, sebagai setapak jejakku di dunia literasi. Sesuatu yang tak berani kujadikan mimpi.
Karena Kompasiana, aku memiliki lingkaran pertemanan tak disangka. Berasal dari pelosok nusantara hingga luar negeri. Aku seperti katak, yang berdiri di atas tempurung. Tak lagi terkurung!
Namaku juga menjadi bagian dalam perhelatan Kompasianival 2020, sebagai nomine untuk kategori "The Best Fiction".
Senang? Pasti! Itu bermakna tulisanku "dilirik dan dihargai". Namun, juga sebagai "titipan kepercayaan" dari Kompasianer dan Admin Kompasiana. Tanpa janji, aku akan berusaha menjaga kepercayaan itu semampuku.
Izinkan kuucapkan terima kasih untuk kepercayaan dan interaksi yang terjalin selama dua tahun ini. Khususnya pada Mas dan Mbak Admin Kompasiana yang mungkin saja "riweh" membaca tulisanku.
Tahniahku untuk Keluarga Besar Kompasianer. Khususnya, para senior yang sering kusapa Suhu dan Mastah, selalu tabah dan sabar membimbing "kecerewetanku" yang selalu bertanya hal-hal yang terkadang tak perlu ditanyakan. Hiks..
Salam hormat untuk teman-teman seperjuangan di daerah yang alami kesulitan sinyal, keterbatasan sumber tulisan, serta menemui kekurangtahuan teknis kepenulisan. Namun masih gigih untuk terus menulis. Aku ikut di dalam barisan.
Salam hangatku untuk teman-teman yang tergabung di Komunitas Penulis Berbalas. Terima kasih, telah menjelma sebagai "api abadi" untuk tetap menulis. Apapun itu, sing penting nulis! Pokoke, hajar! Ahaaay...
Aku jadi mengerti. Menulis tak sekadar olah rasa, berbagi dan rekreasi. Namun investasi abadi.
Curup, 29.12.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H