Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kasih Tak Sampai] Senja yang Hilang

5 Desember 2020   18:16 Diperbarui: 5 Desember 2020   18:55 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Aku baru saja tiba di matamu." Katamu. Senja itu.

"Apa yang kaulihat?" Tanyaku. Sedikit mengangkat wajah.

"Cinta."

Ah. Sedari dulu kamu adalah raja gombal yang tidak terkalahkan, Ken. Jadi percuma saja berdebat denganmu. Aku tahu, aku pasti kalah.

Tapi itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu. Ketika aku masih memakai seragam putih abu-abu.

"Ken. Kali ini kau salah! Di mataku tidak ada lagi cinta." Aku berusaha tersenyum.

Kamu bereaksi, menatapku. Tapi raut wajahmu sama sekali tidak berubah. Kamu tetap tenang. Bahkan sangat tenang. Setenang genangan kenangan yang kusimpan rapat-rapat di dalam hati.

Ah, kenangan ya, Ken? Tidak. Aku sudah berjanji untuk bisa mengalahkan perasaanku sendiri. Meski aku tidak yakin sepenuhnya, apakah aku bisa.

"Tidakkah ada kesempatan kedua bagiku, Ris?" Kamu masih belum berhenti menatapku. Aku menggeleng.

Sekali lagi Ken. Maafkan aku. Kita tidak boleh mengulang masa itu. Masa indah yang sesekali masih nakal melintas di jendela ruang kepalaku.

"Ken, waktunya kita pulang. Terima kasih untuk traktirannya hari ini, ya. Tapi sebelum itu mari kita pastikan. Kita tidak boleh mengulangi pertemuan semacam ini lagi."

Tanganku terulur. Bukan untuk Ken. Tapi untuk bocah perempuan berusia tiga tahun yang memanggilku Mama.

***

Ris. Tak ada senyuman di garis bibirmu. Senyum yang membuat isi kepalaku berlari, mengeja satu persatu kata yang pantas kuajukan padamu. Bagimu, mungkin kata-kataku sekadar bujuk rayuan. Tapi bagiku, apa yang terucap adalah alat perjuangan. Untuk memilikimu.

"Aku pulang, ya?"

Dua kali, kata pulang dari mulutmu mengisi ruang bisu di antara kau---aku---dan gadis kecil yang duduk tenang di pangkuanmu. Ya, dua kali, Ris. Namun tak ada tanda-tanda dari tubuhmu untuk segera mengakhiri pertemuan kita.

Waktu seakan bersekutu. Masa sepuluh tahun hanya bersembunyi di balik pintu. Dan, senja terlalu banyak menyimpan piringan hitam masa lalu.

"Ris..."

Kalimatku terhenti di kerongkongan. Kau menghindar dari tatapanku. Perlahan, kepalamu tertunduk. Dua tanganmu semakin erat memeluk gadis kecilmu. 

Aku masih mengenalmu, Ris. Sangat. Akupun belum lupa akan gelagat itu.

"Tolong jangan..." bisikmu.

Aku terlambat. Mungkin itu satu-satunya yang tak berubah darimu, Ris. Ya. Genangan di sudut mata indah itu. Selalu begitu.

Air mata adalah titik pertahanan paling ampuh, jika kebisuan tak lagi mampu menjadi benteng paling tangguh.

Aku hafal betul kalimat itu. Di luar kepala.

Tangan kananku tergantung di udara ketika binar mata gadis kecil di pangkuanmu menatapku.

Mata bening itu seolah memberitahu. Tak bisa lagi seperti dulu! Dulu jemari ini leluasa menyentuh legam rambutmu yang terurai sebahu. Tapi kali ini, rambut itu rapi bersembunyi di balik jilbab berwarna biru.

"Aku bukannya tak mau memberi kabar, Ris. Tapi, saat itu..."

Lagi. Kalimatku harus terhenti. Gerak pelan kepalamu cukup sebagai isyarat. Kau tak butuh penjelasan. Lima tahun menungguku adalah hukuman teramat berat bagimu. Dan, kepergianku tanpa pesan cukup sudah menjadi alasanmu untuk berbalik menghukumku.

Bagaimana harus menjelaskan semua ini padamu, Ris? Aku tak mungkin menyalahkan erupsi Gunung Sinabung yang membuat ragaku harus menjauh darimu. Kau pun tak mungkin menyalahkanku, karena menjadi relawan adalah panggilan jiwa sekaligus pekerjaanku.

"Kau egois! Kau tak peduli perasaan Ayah dan Ibumu yang bisa saja kehilangan anak laki-laki satu-satunya di tempat asing! Kau tak akan pernah tahu rasanya menunggu! Dengar, Ken. Aku..."

Kali ini kau biarkan kalimatmu terpasung. Seperti aku membiarkan tangan kirimu sibuk membendung air mata dengan tisu.

"Boleh aku pergi, Ken?" Kau berdiri, meraih tas dari atas meja dan sigap menyampirkannya di atas bahu. Dua lenganmu yang kurus cekatan menggendong gadis kecilmu.

Sekejap. Sebelum kau pergi, pandanganmu menghujam tepat ke ulu hatiku. Lalu tanpa suara kau berjalan meninggalkan aku.

"Aku baru saja kehilangan." Bisikku mengiringi tatapan gadis kecilmu yang memaku kakiku agar tak perlu lagi mengejarmu.

"Kehilangan apa?" Tanya senja.

"Cinta."

Tanganku gemetar meraih tisu yang tertinggal di atas meja. Kugenggam sisa air mata itu erat-erat. Sangat erat.

Aku tahu Ris. Meski berat. Genggaman ini tak lagi bermakna isyarat. Untuk sebuah kata; maaf.

***

Penulis :Zaldy Chan dan Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun