Aku terlambat. Mungkin itu satu-satunya yang tak berubah darimu, Ris. Ya. Genangan di sudut mata indah itu. Selalu begitu.
Air mata adalah titik pertahanan paling ampuh, jika kebisuan tak lagi mampu menjadi benteng paling tangguh.
Aku hafal betul kalimat itu. Di luar kepala.
Tangan kananku tergantung di udara ketika binar mata gadis kecil di pangkuanmu menatapku.
Mata bening itu seolah memberitahu. Tak bisa lagi seperti dulu! Dulu jemari ini leluasa menyentuh legam rambutmu yang terurai sebahu. Tapi kali ini, rambut itu rapi bersembunyi di balik jilbab berwarna biru.
"Aku bukannya tak mau memberi kabar, Ris. Tapi, saat itu..."
Lagi. Kalimatku harus terhenti. Gerak pelan kepalamu cukup sebagai isyarat. Kau tak butuh penjelasan. Lima tahun menungguku adalah hukuman teramat berat bagimu. Dan, kepergianku tanpa pesan cukup sudah menjadi alasanmu untuk berbalik menghukumku.
Bagaimana harus menjelaskan semua ini padamu, Ris? Aku tak mungkin menyalahkan erupsi Gunung Sinabung yang membuat ragaku harus menjauh darimu. Kau pun tak mungkin menyalahkanku, karena menjadi relawan adalah panggilan jiwa sekaligus pekerjaanku.
"Kau egois! Kau tak peduli perasaan Ayah dan Ibumu yang bisa saja kehilangan anak laki-laki satu-satunya di tempat asing! Kau tak akan pernah tahu rasanya menunggu! Dengar, Ken. Aku..."
Kali ini kau biarkan kalimatmu terpasung. Seperti aku membiarkan tangan kirimu sibuk membendung air mata dengan tisu.
"Boleh aku pergi, Ken?" Kau berdiri, meraih tas dari atas meja dan sigap menyampirkannya di atas bahu. Dua lenganmu yang kurus cekatan menggendong gadis kecilmu.