Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tangisan Sunyi Sungai Musi

26 November 2020   16:37 Diperbarui: 26 November 2020   18:21 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar batu kerikil di sungai (sumber gambar: pixabay.com)

Agaknya, senja akan kembali berair. Mendung sejak tadi merengek ke langit. Seperti tangis manja bocah kecil yang enggan untuk mengerti, jika kemarin adalah hari terakhir, ia menikmati mata air di dada ibunya.

Dedaunan kecil pohon beringin tak sempat kering, sebagai ucapan perpisahan kepada ranting. Angin senja berlari kencang dari ujung jalan. Tak sabar berkabar kepada penghuni rumah. Agar bersiap mengucap syukur atau sumpah serapah. Hujan kembali turun.

"Aku tak bisa pergi!"

Hening menyibak helai-helai bisu yang sedari tadi menutupi bibirmu. Aku tahu. Kau terlambat menyembunyikan air mata di antara butiran hujan.

***

"Ini sudah banyak! Kalau..."

Kau pasti tahu. Tak cukup suara lembutmu, mencegahku terjun ke sungai. Beberapa kali kuulangi. Hingga batu-batu sebesar genggaman tangan orang dewasa, bertumpuk di bawah pohon kelapa. Di pinggir sungai Musi.

"Selesaikan mandimu! Hampir pukul tujuh!"

Pukul tujuh! Dua kata itu, menjadi kalimat ampuh milikmu. Setiap pagi, dua kata itu menjadi benteng terakhir paling tangguh. Mencegahku untuk berlama-lama berendam di arus sungai. Sambil memilih dan memilah batu-batu yang mudah dipecah oleh kedua ayunan tanganmu.

"Jangan lupa! Pintu rumah di kunci lagi!"

Usapan telapak tanganmu menyentuh rambutku yang basah. Bertelanjang dada, aku bergegas melangkah pulang ke rumah. Bertukar baju, dan berlari secepat mampu ke sekolah.

***

"Rumah Mang Acip hanyut!"

Suaramu membangunkanku. Naluri menuntun gerak cepat tubuhku menuju pintu belakang rumah. Tak ada teriakan panik dan histeris terdengar. Di antara kegelapan, kulihat arus deras sungai Musi. Pohon kelapa di pinggir sungai lenyap.

Apa pun akhir kisah tragis malam itu. Mang Acip masih beruntung! Hanya rumah kosong yang di ajak pergi. 

Sebelas tahun lalu, banjir di belakang rumah mengajak lelakimu pergi.

***

"Kau seperti lelakiku!"

Pelukmu semakin erat. Tujuh belas tahun, bukan waktu yang mudah untuk satu keputusan. Meninggalkanmu.

Seumur hidup aku menemanimu. Nyaris setiap pagi, mengambil dan mengumpulkan batu-batu dari sungai Musi. Namun waktu yang kejam, tak pernah memberi tahu. Agar aku bersiap hidup terpisah denganmu.

"Kuliah yang baik. Jangan lupa, doakan Ayahmu!"

Dua telapak tanganmu yang kasar, dan penuh bekas luka, menyentuh dua bahuku. Tangan kukuh yang tak lelah memecah batu-batu masalah yang menghambat kehidupan masa depanku.    

Suatu saat, bahuku yang akan mengangkat batu-batu itu, menyusunnya satu persatu, dan perlahan membangunnya menjadi taman. Untukmu.

***

Dua kali, acara perpisahan di SMP dan SMA. Hanya wali kelas dan kepala sekolah yang mendampingiku, menerima piagam dan ijazah. Kali ini, undangan wisuda itu, terbiar tergeletak sepi atas meja. Di ruang tamu yang sunyi.

"Biarkan aku tetap sebagai pemecah batu, Nak!"

Aku tak akan mengubah kalimat sekaligus tameng pelindungmu. Bagimu, itu adalah pilihan suci. Caramu menunaikan janji. Tak akan pernah meninggalkan lelakimu. Walau telah berdiam tenang di peristirahatan. 

"Ayahmu pasti bahagia. Kau sudah..."

Suaramu tertelan bunyi butiran hujan yang menghunjam atap. Senja sudah sejak tadi melarikan diri meninggalkan kelam malam. Arus sungai Musi terdengar. Semakin dekat dan semakin keras. Dari luar rumah, sayup terdengar teriakan orang-orang yang panik dan histeris.

Kemudian menghilang.

***

Kau menggenggam erat tanganku. Wajahmu merona malu. Dari kejauhan, kulihat ayah melangkah dan tersenyum menatapku.

Curup, 26.11.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun