Suatu saat, bahuku yang akan mengangkat batu-batu itu, menyusunnya satu persatu, dan perlahan membangunnya menjadi taman. Untukmu.
***
Dua kali, acara perpisahan di SMP dan SMA. Hanya wali kelas dan kepala sekolah yang mendampingiku, menerima piagam dan ijazah. Kali ini, undangan wisuda itu, terbiar tergeletak sepi atas meja. Di ruang tamu yang sunyi.
"Biarkan aku tetap sebagai pemecah batu, Nak!"
Aku tak akan mengubah kalimat sekaligus tameng pelindungmu. Bagimu, itu adalah pilihan suci. Caramu menunaikan janji. Tak akan pernah meninggalkan lelakimu. Walau telah berdiam tenang di peristirahatan.Â
"Ayahmu pasti bahagia. Kau sudah..."
Suaramu tertelan bunyi butiran hujan yang menghunjam atap. Senja sudah sejak tadi melarikan diri meninggalkan kelam malam. Arus sungai Musi terdengar. Semakin dekat dan semakin keras. Dari luar rumah, sayup terdengar teriakan orang-orang yang panik dan histeris.
Kemudian menghilang.
***
Kau menggenggam erat tanganku. Wajahmu merona malu. Dari kejauhan, kulihat ayah melangkah dan tersenyum menatapku.
Curup, 26.11.2020