Kuingin kau seperti duri serumpun mawar. Menjaga tanpa suara, melukai tanpa menagih nyawa.
Kembali dan berkali. Aku membaca kalimat terakhir itu. Tertulis pada sehelai kertas putih yang mulai buram.
Seperti mimpi-mimpi yang bertandang di sepertiga malam. Suram.
***
"Kau memilih pergi, kan?"
Seperti angin senja yang leluasa membelai helai rambutmu dalam bisu. Akupun memilih sepi sebagai jawaban untukmu.
"Apakah tak ada alasan yang..."
Tanyamu menguap di persimpangan pikiran. Kau mungkin mengerti, untuk apa semua penjelasan kuajukan, jika kau tetap saja harus kutinggalkan? Agresi militer kali ini, memaksaku menjauh. Tak hanya darimu, tapi juga dari orang-orang yang mencintaimu. Â
Kau pun pernah memutuskan tanpa ada pilihan. Mengajakku menemui ayah dan ibumu. Berbicara pelan dengan tangisan tertahan. Jika aku adalah orang yang kau pilih untuk melabuhkan masa depan.
"Berangkat besok? Aku tak boleh tahu, berapa lama, kan?"
Kupilih menyembunyikan air matamu di pelukku sebagai jawaban. sejak dulu, aku belajar. Perang tak hanya menuntut kerelaan pengorbanan nyawa dan harta. Juga cinta.
***
"Bagaimana jika nanti, kau seperti..."
Pertanyaan berulang! Kau seperti ibu. Khawatir jika aku seperti ayahku. Sosok yang tak pernah kembali. Usai dijemput malam hari.
Aku hanya tahu dari cerita ibu, yang kembali aku ceritakan padamu. Ayahku menjalankan misi rahasia untuk negara. Hanya itu.
"Kau mau mengingatku?"
Angin senja menjemput bayangan malam. Dan aku tak mampu mengusik raut wajahmu nan muram. Permintaan menjadi serpihan harapan tanpa pembuktian. Hampa, tak makna. Namun melahirkan bekas luka.
Kau tak ingin mengerti? Tak satu orang pun yang bersiap menyusun puing-puing perpisahan di bentangan ladang harapan. Dan, tak pernah ada pilihan mudah dalam peperangan.
***
"Tak usah berjanji. Pergilah!"
Kau dan aku mengerti. Hati harus belajar kepada sunyi. Mereguk kekosongan hari-hari tak berujung dalam penantian. Hanya berbekal kepercayaan untuk tetap bersama dalam keyakinan. Adakah yang mampu mengalahkan keyakinan?
Bagimu, bukan segaris senyuman yang pantas diajukan. Namun, butiran air mata adalah cara terbaik darimu membasuh titik akhir pertemuan.
Bagiku. Sepucuk surat dan sehelai sapu tangan biru dalam genggamanku, adalah caramu memberitahu. Malam itu, kau masih milikku.
***
Pagi ini. Di tengah kibaran bendera setengah tiang sebagai simbol peringatan untukmu. Aku hadir bersama sapu tangan biru.
Kau tak perlu tahu. Aku masih saja melakukan peperanganku. Bukan mencari tentara Belanda yang tega melepas tiga butir peluru ke tubuhmu, karena kau tak mengaku mengenalku. Tapi melawan sesalku. Tak mampu menjagamu.
Namun, kulakukan inginmu. Menjadi duri untukmu. Mawarku.
Curup, 10.11.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Selamat memperingati Hari Pahlawan 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H