Ketiga. Belajar melalui Tulisan.
Di SMA. Pelajaran, tak lagi Bahasa Indonesia. Tetapi Bahasa dan Sastra. Tak hanya belajar jenis-jenis tulisan, namun siswa diwajibkan membaca sejumlah karya sastra semisal Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Robohnya Surau Kami, atau Di Bawah Lidungan Ka'bah.
Bukti dari proses pembelajaran itu, siswa mampu menulis resensi buku yang dibaca. Atau setidaknya melakukan reading report atau dikenal dengan istilah membuat resume. Di akhir kelas tiga (sekarang kelas dua belas), wajib membuat karya tulis atau paper sederhana.
Terus, bagaimana keterampilan menulis anak sekolah masa sekarang?
Ada orangtua yang bangga, sejak Taman Kanak-kanak, anaknya sudah mampu membaca, tapi mengeluh, karena tak mengerti yang dibaca. Apalagi diminta menceritakan atau menuliskan ulang hasil dari bacaan itu.
Kenapa begitu? Aku tak bisa menjawab secara lugas. Namun, acapkali menerima keluhan dari rekan-rekan yang berprofesi sebagai guru maupun orangtua. Dugaanku, ada salah satu dari tiga tahapan itu, yang hilang!
Kemampuan menulis itu tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan saling berhubungan dengan kemampuan lain. Yaitu keterampilan membaca, berbicara atau menyimak.
Aku coba refleksikan ketiga hal itu, secara mandiri dengan melihat ke lingkungan terdekat, sebagai unsur pendukung keterampilan menulis.
Pertama. Keterampilan Membaca.
Berapa banyak guru dan orangtua mengalokasikan waktu membaca serta berapa jumlah buku yang harus dibaca siswa dan anak? Seringkah bertanya untuk mengukur pemahaman dari buku yang dibaca, dan menuntun mereka merefleksikannya pada sikap dan prilaku?
Pertanyaan lanjutan, berapa banyak sekolah atau rumah yang memprioritaskan keberadaan perpustakaan? Tak hanya itu, bagaimana keadaan buku-buku bacaan itu? Adakah terbitan terbaru atau buku puluhan tahun lalu? Sesuaikah dengan kebutuhan mereka?
Pertanyaan terakhir berkaitan dengan membaca. Saat tamat SMA. Adakah terukur dan diketahui, berapa banyak buku, novel atau karya sastra lain yang sudah dibaca?