Aku tuliskan contohnya tentang hujan di bulan November, ya?
Bulan November dituduh tanpa mampu menyangkal, sebagai "Bulan Hujan". Salah satu "tuduhan" itu, ditahbiskan abadi oleh generasi 90-an. Itupun jika pernah menyimak lagu grup musik Guns N Roses yang berjudul "November Rain".
Curup -kota kelahiranku- tak pernah berurusan dengan judul lagu itu. Sebab dari bulan Januari-Desember akrab dengan curah hujan. Bayangkan jika dalam konser, sebagai vokalis, Axel Roses kerepotan mengingat perbedaan lirik dari "Januari Rain" hingga "Desember Rain".
Namun, jika berbincang tentang hujan. Reaksi tentang keberadaan hujan itu "Akan Tampak" setelah "Ada Dampak". Hal itu bisa terlihat dari tahapan reaksi petani di musim hujan.
Para petani pasti bahagia, ketika benih yang disemai, tumbuh dan bisa segera bertanam. Hujan atau lebih tepatnya butiran hujan sebagai rahmat dari Sang Pencipta. Pada tahap ini, hujan adalah sumber harapan.
Saat benih sudah ditanam. Tapi hujan curah hujan semakin deras hingga merendam bibit tanaman. Petani pun berharap tak lagi datang hujan, agar benih tak mengalami pembusukan. Saat seperti ini, hujan berubah menjadi keluhan.
Di masa perawatan satu hingga dua bulan awal. Tanaman akan melalui siklus butuh banyak air atau butuh sedikit air. Bayangkan kesedihan petani cabai atau kopi, ketika tanaman yang sedang berbunga, diterpa hujan? Hujan menjadi pemicu kemarahan tertahan.
Menjelang masa panen. Ternyata hujan tak kunjung reda. Petani di sawah menggerutu, bulir padi yang telat menguning karena kekurangan cahaya matahari. Begitu juga petani kopi dan cabai, apalagi petani sayuran yang terancam gagal panen. Hujan melahirkan makian!
Ketika hujan tak hanya meluluhlantakkan mata pencaharian. Namun juga rumah tempat tinggal yang dipicu banjir atau tanah longsor. Pada momen ini, hujan adalah awal musibah yang hadirkan tangisan.