Aku lebih memilih diam. Kisah masa kecilmu, cukup menjadi alasanku. Memilikimu.
***
Kau pernah bertandang ke ruang tamu, agar aku melihat tumpahan beningmu. Usai kau mendapat berita, jika saudara tertuamu akan menikah. Bagimu, kebahagiaan saudaramu itu adalah kehilanganmu.
Lagi dan berulang lagi. Tangismu hadir di hadapku. Ketika waktu mengatur satu-persatu saudaramu harus menikah. Apalagi, tak ada satu pun dari peristiwa itu, bisa kau saksikan.Â
Kembali, waktu berkuasa meracik menu kehilangan paling bisu untukmu.
Kau pun mulai percaya, hidupmu tegak di atas pondasi rapuh. Kehilangan demi kehilangan datang silih berganti. Hingga kau terbiasa melukis sketsa sepi. Sendiri.
Aku tak berani menentang takdirku!
Kalimat itu tertulis pada lembar kedua suratmu. Sebuah pesan tersembunyi dari mimpimu, saat aku harus pergi meninggalkanmu. Kau mengerti semua alasan kepergian itu. Mewujudkan anganku. Kau sepenuhnya milikku.
***
Kukira, kau mulai melupakan bayang-bayang tentang kehilangan, saat kutemui ayah dan ibumu. Memintamu menjadi ibu bagi anak-anakku.
"Terima kasih, Mas. Aku..."