"Aku tak mau lagi hidupku tersusun dari kehilangan demi kehilangan."
Kalimat itu meluncur tiba-tiba dari bibirmu. Tergesa menyelinap tanpa aba-aba, dan menguap di udara. Perlahan menghilang. Di ujung malam yang lengang.
Kali ini tanpa air mata. Hanya gema butiran hujan yang berjatuhan. Juga kabut yang disisakan desah nafasmu, menghalangi tatapanku pada wajah letihmu.
"Pernah merasakan mimpi yang hilang?"
Kau tahu. Aku tak perlu menjawab pertanyaan itu.
***
Di Ketenong, desa kecil berjarak lima jam perjalanan, tiga kali berganti kendaraan menuju ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Kau dilahirkan sebagai anak bungsu, dari lima bersaudara. Dua puluh tujuh tahun lalu.
Ayah dan ibumu bekerja sebagai guru sebuah sekolah dasar swasta. Satu-satunya sekolah yang tersedia di desamu. Hal itu memaksa empat saudaramu, satu-persatu pergi merantau meninggalkan rumah, untuk melanjutkan sekolah.
Kaupun jalani ritual itu, usai menamatkan sekolah dasarmu. Meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah, adalah alasan paling indah untuk suatu perpisahan. Hidup jauh dari ayah juga ibumu, adalah cara paling sopan untuk merayakan sebuah kehilangan.
"Tak pernah merasakan itu, kan?"