Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

3 Timbangan Rasa Saat Menulis di Kompasiana

23 Oktober 2020   14:43 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:21 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat Ulang Tahun ke-12 Kompasiana (sumber gambar : kompasiana.com)

"Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampung dipatenggangkan."

Kalimat di atas, adalah tuturan adat yang menjadi rujukan ideal sebagai tugas, fungsi dan tanggung jawab bagi setiap lelaki berdarah Minang.

Namun, kali ini aku tak akan menyigi dinamika dalam interaksi sosial berkaitan dengan Petuah Minang tersebut. Tapi mencoba mengawinkan tiga filosofi itu, yang mempengaruhi caraku menulis hingga tayang di Kompasiana. Boleh, ya?

3 Timbangan Rasa Menulis di Kompasiana

Pertama. Anak Dipangku

Aku adalah orangtua, dan tulisan adalah anakku. Sebagai orangtua, aku memiliki kewajiban menjaga dan merawat. Serta bertanggungjawab penuh terhadap kendala serta rintangan perjalanan panjang sebuah tulisan, kan?

Agar tak tersesat di jalan yang lurus, Kucoba olah tulisan itu secara hati-hati dan matang. Toh, buat anak tak boleh coba-coba, kan? Maka kupangku dengan timbangan rasa dan logika. Ketika yakin bisa mandiri, baru kulepaskan.

Namun, orangtua bisa saja salah, tah? Semisal senjata AK 47, hingga hari ini, aku sudah melontarkan lebih dari seribu peluru berbentuk tulisan. Ada kemungkinan peluru itu melesat tajam menembus sasaran. Namun banyak juga meleset jauh dari titik harapan yang diinginkan. Hiks...

Kedua. Kamanakan Dibimbiang.

Kompasiana tak hanya rumah bersama yang menayangkan tulisan. Namun menciptakan ruang interaksi yang intens antar Kompasianers. Sebut saja hadirnya puluhan Komunitas menulis serta beragam grup penulis melalui aplikasi media sosial. Salah satunya Whatsapp Grup.

Interaksi sosial itu, menjadi tahapan "Kamanakan Dibimbiang". Akan hadir bimbingan dan petunjuk cara menulis dan dunia kepenulisan dari penulis yang lebih senior. Berbagi ide, beradu argumentasi atau saling papah sebelum dan sesudah diunggah.

Dan itu yang acapkali aku lakukan sebelum menayangkan sebuah tulisan. Atau sebaliknya, ada saja anggota grup yang menagih saran juga masukan untuk sebuah tulisan. Tanpa disadari, ada proses "take and give" saat berhimpun dalam satu grup. Dan tahu, aku tak sendirian.

Ketiga. Urang Kampuang Dipatenggangkan.

Makna harfiah dari kalimat itu adalah memikirkan orang lain. Jika ditautkan dengan tulisan, idealnya sebelum, saat dan setelah selesai membuat satu tulisan. Tak lantas terburu untuk segera tayang. Namun dihitung ulang dampak dan resiko dari tulisan itu bagi semua orang.

Cara ini adalah pilihan. Sebab setiap penulis memiliki timbangan objektif dan subjektif serta tujuan yang berbeda. Mungkin saja ada yang berpijak pada data, beranjak dari fakta, bertindak dari suatu fenomena atau asumsi dan opini pribadi. Toh, tanggungjawab berbalik pada penulis,kan?

Bagiku pribadi? Aku lebih memilih tak menulis atau menunda menulis, jika ternyata tulisan yang kuunggah melenyapkan senyuman dan kebahagiaan orang-orang di sekitarku atau  yang membaca tulisanku. Boleh begitu, kan?

Ulang Tahun ke-12 Kompasiana (sumber gambar : Kompasiana.com dari artikel Kompasianers Anton 99)
Ulang Tahun ke-12 Kompasiana (sumber gambar : Kompasiana.com dari artikel Kompasianers Anton 99)
Merasakan Jalan Sunyi Jejak Literasi

Sudah 12 tahun usia Kompasiana. Belum genap 2 tahun aku mengikat diri untuk bersama. Banyak hal yang kupelajari, kualami, kurasakan serta kudapatkan. Beberapa yang bisa kutuliskan :

Pertama. Aku mengenal banyak orang hebat yang ternyata betah bersembunyi dalam foto profil dan tulisan. Merasa sungkan kusebut satu nama, bila ternyata banyak nama yang terlewati. Pelajaran bagiku, Banyak sekali Kompasianers yang menyimpan kehebatan mereka di bilik rahasia.

Kedua. Awal bergabung, aku seperti pemain rookie pilihan pertama dalam kompetisi basket NBA. Terus belajar dan berlatih, jadi bukti jika aku bisa menulis. Tak jarang tulisanku mengalir deras. Namun, terkadang hanya bisa menulis sehari satu tulisan. Kualami tembok majal bernama konsistensi. Hiks...

Ketiga. Saat berkompasiana, Aku pernah merasa kecil hati dan rendah diri usai mengunggah tulisan, namun tak dilabel pilihan. Namun berubah senyuman dan rasa bangga saat label berwarna biru itu terlihat. Akupun pernah meloncat-loncat jika tulisanku diganjar artikel utama! Boleh, kan? Hahaa...

Keempat. Menjalin pertemanan, menemukan keluarga tanpa pertalian darah, hingga membangun jaringan literasi antar Kompasianers di dalam dan di luar negeri, adalah hal-hal yang kudapatkan di rumah bersama ini, tapi telat kusadari.

Sesungguhnya, masih banyak jejak literasi yang bisa menjadi saksi. Namun, biarlah mereka menempuh jalan sunyi.

Selamat Ulang Tahun ke-12 Kompasiana (sumber gambar : kompasiana.com)
Selamat Ulang Tahun ke-12 Kompasiana (sumber gambar : kompasiana.com)
Membaca Tulisan 12 Tahun Kompasiana dengan Menu Masakan Padang

Kemarin, aku adalah penumpang bus yang kehabisan peluang menikmati hidangan di Rumah Makan Padang.

Karena hanya bisa membaca beragam tulisan yang tayang, dua belas jam usai detak akhir hari lahirmu yang ke-12. Aku ikut memeriahkan dengan caraku. Melakukan refleksi dari hidangan tulisan tentang Kompasiana. Tentu saja bersandar pada rumpun ilmu kiramologi sekaligus kelirumologi, ya?

Walau tak lagi tersaji hangat, masih terasa empuk dengan bumbu yang pekat. Ada tulisan yang diracik secara serius dengan beberapa bumbu khusus. Kuanggap seperti mencicipi daging "Randang". Irisan daging pilihan dari punggung atau paha sapi.

Ada juga tulisan yang renyah dan gurih tapi pedas. Seperti memegang sepiring nasi, yang disajikan menu "Dendeng Batokok Sambalado" dengan varian sambal hijau atau merah. Menu ini melalui proses panjang, diiris tipis-tipis, dipukul, dijemur di matahari atau diasapi sebelum digoreng kering!

Beberapa tulisan dihadirkan dengan lembut dan penuh rasa kasih. Aku jadi mengingat menu "Gajeboh"! Aih, silakan cari tahu menu ajaib itu. Sebagian orang menganggapnya lemak jahat. Lemak daging itu, akan meluncur mulus di lidah, jika disantap selagi hangat.

Namun, beberapa tulisan, menampilkan pesona tersendiri dengan isi yang nyelekit sebagai kritik sayang. Aku ibaratkan sebagai menu "Kalio Jariang". Dalam rumus masakan Minang, kuah kental kalio adalah etape setengah jalan dari bumbu randang. Empuk namun menyisakan aroma khas di akhir santapan.

Sesungguhnya masih ada rasa tulisan seperti menu "Gulai Cubadak" yang berbahan nangka, "Pucuk Parancih" sebagai nama lain dari daun singkong, "Talua Dada" pengganti telur dadar, atau "Ampelo" yang biasa juga disebut ampela. 

Tapi, aku jadi khawatir tulisan ini jadi mirip daftar menu yang tertempel di dinding Rumah Makan Padang. Ahaaay....

Akhirnya...

"Selamat ulang tahun Kompasiana. Tetaplah menjadi rumah nyaman nan asri. Agar lebih banyak orang yang mereguk manfaat dan inspirasi."

Terima kasihku untuk Mas dan Mbak Admin dan Semua Kompasianers. Tak akan ada aku, tanpamu. Uhuuuy...

Curup, 23.10.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun