Kau pasti mengerti perihnya dijuluki perawan tua atau bujang lapuk, kan? Bagi orangtuaku, takdir mereka adalah telat menikah.
Dan, takdir telat itu terus berlanjut.Â
Apa rasanya, menikah jika tak memiliki anak? Kau bisa saja mengerti. Namun orang lain? Tuduhan mandul bagi pasangan suami-istri atau impoten bagi lelaki, lebih dahsyat tekanannya daripada ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Percayalah itu!
Air mata menjadi saksi. Bagaimana usaha ayah dan ibuku untuk mendapatkan anak. Sudah berpuluh-puluh saran dan anjuran orang pintar diikuti. Aku lahir pada tahun kelima pernikahan. Saat ibuku memasuki usia tiga puluh tujuh tahun. Ayahku pada angka empat puluh. Akupun menjadi anak tunggal.
Aku terharu, saat ibuku dengan air mata bahagia mengisahkan tentang hari-hari pertama kehamilan. Kukira, satu-satunya telat yang harus disyukuri. Ibuku telat datang bulan.
Aku mengingat subuh itu. Belum genap enam tahun usiaku. Biasanya, usai subuh ibu akan pergi ke pantai. Menunggu dan membantu ayah memunguti ikan hasil tangkapan. Dan itu setiap hari dilakukan sejak awal pernikahan.
Namun, hari itu ibu buru-buru pulang ke rumah. Membangunkan dan menarik tanganku. Bergegas menuju pantai. Tanpa suara dan tanpa air mata. Ibu memelukku.
Aku lupa persisnya. Beberapa hari setelah itu, aku mendengar cerita, jika perahu ayahku telat pulang.
Kau tahu? Di kalangan nelayan ada kepercayaan dari kisah yang turun temurun. Di tengah lautan, di antara laut Bengkulu menuju Selat Sunda, ada sebuah gerbang misterius. Apapun dan siapapun yang sengaja atau tak sengaja melintasi akan hilang dan tak pernah ditemukan.
Orang-orang tua dulu menyebut peristiwa kehilangan itu dengan istilah "telat pulang". Ujaran halus, untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan itu terjadi pada ayahku. Walau ibuku tak pernah mau menceritakan hal itu.
Jika kau bertanya tentang Ayahku, maka aku akan menjawab dengan kalimat, "ayahku telat pulang". Â Sebagai cara menyembunyikan pedihnya rasa kehilangan dan kepergian. Bagiku. Juga ibuku.