Asa adalah serpihan harapan yang mampu membuat seorang bertahan. Seperti kehadiran warna-warni pelangi yang menghangatkan hati, usai rintik hujan berjatuhan menghunjam titik perlindungan sepi.
Menjaga perapian asa, adalah caraku. Bukan tentang siapa atau untuk apa? Aku hanya percaya, di setiap pencarian akan ada saatnya menapaki garis pemberhentian.
Namun semua itu pasti butuh waktu. Tak seorang pun tahu. Penantian tunggu pasti berakhir. Apatah di halaman persinggahan atau berujung pada keabadian.
Aku hanya tidak ingin terluka lagi dan ini membuatku menutup rapat hatiku. Tapi apakah salah aku mulai membukanya kembali?
Tak perlu buru-buru menjawab! Kau dan aku mereguk kelelahan yang sama. Menaklukkan kenangan dalam genangan rasa, ketika kepercayaan tersakiti. Membiarkan debu-debu masa lalu membalut luka yang betah terpasung kecewa.
***
Aku mengerti. Tak ada yang lebih perih selain dikhianati. Namun, adakah yang mampu seteguh matahari, setia menemani laju hari? Tak pernah berpaling tanpa berucap janji, agar tak ada yang tersakiti?
Akan ada saatnya di mana percayamu dikecewakan. Lalu hatimu dengan sengaja dipatahkan. Dan saat itu kamu akan tahu apa maksud dari keikhlasan.
Begitulah cara hati mengajari. Bukan hanya tentang cara menikmati keindahan bias senja yang tersaji di ujung pertikaian hari. Atau tentang bening embun pagi yang menyapa dedaunan dan kelopak melati.
Namun, mengajarkan kerelaan dalam ketiadaan. Melatih diri menerima kehilangan dalam sebuah kepergian. Dan, air mata adalah  hal termudah membasuh kesepian.
***