Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Usai Subuh Sebelum Pukul Tujuh

20 September 2020   18:26 Diperbarui: 21 September 2020   10:13 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by Pixabay.com

"Abang percaya ada tuyul?"

Aku tersedak! Gagal menikmati reguk pertama dari segelas kopi. Lelaki yang baru saja duduk di hadapku, terkejut melihat reaksiku. Wajahku terasa panas. Tertunduk. Kedai kopi, kembali sepi.

***

Hampir tujuh bulan bergabung, aku sudah tahu. Marto selalu menjadi orang pertama yang tiba di pangkalan ojek. Setelah sholat subuh berjamaah di masjid yang tepat berada di depan pangkalan, Marto akan meletakkan motor biru tua miliknya pada posisi paling kanan di tepi jalan raya.

Aku menjadi yang kedua. Biasanya, aku dibangunkan istri sebelum azan subuh, dan akan pergi ke pangkalan, setelah istriku pulang ke rumah usai sholat berjamaah. Di masjid yang sama dengan Marto. Motorku pun terparkir di urutan kedua.

Dua minggu sebelum mendaftar di pangkalan ojek itu, aku melakukan penelitian. Ada sebelas anggota tetap. Tujuh orang sudah menikah, dua orang pernah menikah. Satu orang akan menikah, dan satu lagi masih kuliah.

Lima orang memiliki motor sendiri. Tiga orang masih membayar cicilan kredit bulanan. Dua orang meminjam motor saudaranya. Dan satu orang menyewa motor siapa saja, dengan perjanjian bagi hasil dari pendapatan harian. Aku beruntung, memiliki motor sendiri walau berusia tua.

Aku perhatikan, kecuali Marto, sepuluh orang lainnya akan datang satu-persatu ke pangkalan setelah pukul tujuh. Pada jam segitu hingga pukul delapan, calon penumpang akan datang dan diantar. Anak sekolah, ibu-ibu yang pergi ke pasar, serta beberapa pegawai berseragam kantoran.

Waktu yang kuanggap paling produktif itu, mesti dimaksimalkan. Karena aturan di pangkalan, tak bisa pilih-pilih penumpang. Harus patuh sesuai antrian. Sebelum berangkat mengantar penumpang, juga mesti menuliskan tanda silang di daftar harian anggota.

Setiap mendapatkan sepuluh pelanggan, semua anggota mesti menyetorkan uang sebesar lima ribu rupiah, sebagai uang kas pangkalan. Uang yang terkumpul diberikan kepada anggota, jika diterpa musibah. Nominalnya sesuai kesepakatan semua anggota. Dan, Marto adalah bendahara pangkalan.

Aturan mesti menyetor uang lima ribu itu, hanya berlaku mulai pukul tujuh hingga pukul lima sore. Kukira, itu salah satu alasan Marto, memilih datang ke pangkalan setelah sholat subuh. Biasanya, ada saja jamaah yang minta diantarkan ke pasar atau membeli sarapan, sebelum pulang ke rumah.

Dari penelitian itu, aku jadi tahu. Marto bisa mendapatkan lima hingga tujuh pelanggan, sejak sesudah subuh hingga sebelum pukul tujuh. Karena sendirian, terkadang ada juga pelanggan yang hanya minta dibelikan beragam pesanan, terus diantarkan ke rumah. Jika begitu, pasti ada bonus.

Setelah kuhitung, dengan ongkos ojek jauh-dekat sepuluh ribu, jika ada tujuh penumpang sebelum pukul tujuh. Maka Marto sudah mengantongi uang tujuh puluh ribu, sebelum anggota yang lain datang dan menunggu calon penumpang!

Akhirnya, dengan menyerahkan uang setoran dua ratus lima puluh ribu, aku pun diterima sebagai anggota kedua belas. Aku juga mesti membeli sekaleng cat semprot warna hijau muda, untuk mengganti warna dua helm. Untukku serta untuk penumpang. Berselang dua hari, aku memiliki kartu anggota.

Aku pun mengikuti cara-cara Marto. Pergi ke pangkalan setelah shubuh. Tujuanku hanya satu. Mencari penumpang sebanyak mungkin sebelum pukul tujuh.

Marto terlihat senang. Kukira, karena ia memiliki teman bertukar cerita sambil menunggu penumpang sesudah subuh, dan menikmati segelas kopi pagi di kedai yang berada di sebelah pangkalan.

Mungkin juga, karena ada teman satu perjuangan, yang mesti menghidupi istri dan dua orang anak. Anak Marto satu masih berusia dua bulan, satu lagi berusia lima tahun. Kedua anakku sudah bersekolah. Duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

***

Seiring laju waktu. Usai subuh sebelum pukul tujuh itu, perlahan menjadi ajang persaingan dan pertempuran dalam diam. Tanpa disengaja, aku dan Marto terlibat kejar-kejaran memburu rezeki.

Tapi, aku tak pernah bisa menyamai disiplin waktu yang dimiliki Marto, karena menjadi jamaah masjid setiap subuh. Sehingga selalu menjadi orang yang pertama di pangkalan. Aku hanya sebatas nyaris menyamai. Itu pun sebulan hanya lima hingga tujuh hari, ketika istriku mendapat tamu bulanan.

Terkadang, aku dapat tiga penumpang. Marto hingga lima orang. Adakalanya, mendapatkan jumlah penumpang yang sama. Namun, tingkah dan sikap Marto tak berubah, walau tahu ada persaingan diam-diam antara kami berdua.

Sampai korona datang bertamu sebulan lalu, dan kota ini dinyatakan sebagai zona merah. Tersisa Aku dan Marto yang masih bertahan di pangkalan. Pelanggan semakin sepi, namun tak mungkin menyerah.

Sekolah-sekolah ditutup, belajar dialihkan menggunakan ponsel. Jamaah masjid jauh berkurang. Ibu-ibu yang minta di antar ke pasar semakin jarang. Pegawai berseragam banyak yang tak terlihat sebagai pelanggan.

***

Marto tak lagi tersenyum. Dengan diam, duduk di hadapku. Aku mengerti, pertanyaan tentang tuyul itu, cara santun Marto menegurku.

"Tadi, Abang lihat aku keluar dari gerbang masjid, kan?"

Kurogoh saku depan jaketku. Meraih selembar sepuluh ribu, ongkos penumpang pertama pagi itu untukku.

"Maafkan aku, ya? Ini..."

"Bukan tentang uang, Bang!"

Nada suara Marto lebih sakit, dari rasa kopiku yang sedikit pahit. Kedai kopi, kembali merenangi sepi.

Curup, 20.09.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun