Dari penelitian itu, aku jadi tahu. Marto bisa mendapatkan lima hingga tujuh pelanggan, sejak sesudah subuh hingga sebelum pukul tujuh. Karena sendirian, terkadang ada juga pelanggan yang hanya minta dibelikan beragam pesanan, terus diantarkan ke rumah. Jika begitu, pasti ada bonus.
Setelah kuhitung, dengan ongkos ojek jauh-dekat sepuluh ribu, jika ada tujuh penumpang sebelum pukul tujuh. Maka Marto sudah mengantongi uang tujuh puluh ribu, sebelum anggota yang lain datang dan menunggu calon penumpang!
Akhirnya, dengan menyerahkan uang setoran dua ratus lima puluh ribu, aku pun diterima sebagai anggota kedua belas. Aku juga mesti membeli sekaleng cat semprot warna hijau muda, untuk mengganti warna dua helm. Untukku serta untuk penumpang. Berselang dua hari, aku memiliki kartu anggota.
Aku pun mengikuti cara-cara Marto. Pergi ke pangkalan setelah shubuh. Tujuanku hanya satu. Mencari penumpang sebanyak mungkin sebelum pukul tujuh.
Marto terlihat senang. Kukira, karena ia memiliki teman bertukar cerita sambil menunggu penumpang sesudah subuh, dan menikmati segelas kopi pagi di kedai yang berada di sebelah pangkalan.
Mungkin juga, karena ada teman satu perjuangan, yang mesti menghidupi istri dan dua orang anak. Anak Marto satu masih berusia dua bulan, satu lagi berusia lima tahun. Kedua anakku sudah bersekolah. Duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan kelas dua Sekolah Menengah Pertama.
***
Seiring laju waktu. Usai subuh sebelum pukul tujuh itu, perlahan menjadi ajang persaingan dan pertempuran dalam diam. Tanpa disengaja, aku dan Marto terlibat kejar-kejaran memburu rezeki.
Tapi, aku tak pernah bisa menyamai disiplin waktu yang dimiliki Marto, karena menjadi jamaah masjid setiap subuh. Sehingga selalu menjadi orang yang pertama di pangkalan. Aku hanya sebatas nyaris menyamai. Itu pun sebulan hanya lima hingga tujuh hari, ketika istriku mendapat tamu bulanan.
Terkadang, aku dapat tiga penumpang. Marto hingga lima orang. Adakalanya, mendapatkan jumlah penumpang yang sama. Namun, tingkah dan sikap Marto tak berubah, walau tahu ada persaingan diam-diam antara kami berdua.
Sampai korona datang bertamu sebulan lalu, dan kota ini dinyatakan sebagai zona merah. Tersisa Aku dan Marto yang masih bertahan di pangkalan. Pelanggan semakin sepi, namun tak mungkin menyerah.