"Bang! Gimana caranya menulis puisi?"
"Tinggal tulis!"
"Maksudnya, biar bermakna, Bang!"
"Kan, tinggal pilih-pilih kata?"
"Iya. Tapi kata yang...."
Beberapa kali aku terlibat percakapan seperti itu. Kupahami, pertanyaan-pertanyaan itu tertuju padaku, karena melihatku sebagai orang yang suka menulis kategori "Puisi". Bukan sebagai pemuisi, pensyair, atau penulis yang memiliki karya-karya masterpiece.
Biasanya, akupun akan menggunakan jawaban dengan kata kunci "tinggal". Tinggal buat, tinggal tulis, tinggal pilih, tinggal susun dan tinggal-tinggal lainnya. Ahaaay...
Sependektahuku, ada tiga hal yang biasa diungkapkan padaku, dan dianggap sebagai pedal rem pakem, hingga mengalami kesulitan menulis puisi. Dengan niat berbagi bukan menggurui, aku tulis, ya?
Pertama. Menulis Puisi Itu Susah!
Kukira, jika sudah merasakan kalimat itu, tak perlu memaksakan diri menulis puisi. Bahkan menghembus balon atau menggenggam buih pun akan menjadi susah! Sebab, seringan apapun pekerjaan, tak akan pernah mudah jika diawali dengan rasa susah.
Seorang penulis top, aku lupa namanya, pernah menuliskan. Ada 6 Langkah Rahasia menulis, yaitu;Â tulis, tulis, tulis, tulis, tulis dan tulis.
Kedua. Puisi Itu Banyak Aturan!
Tak hanya tentang penggunaan bermacam imbuhan pada kata yang acapkali bikin repot. Tapi juga penguasaan beragam majas, rima dan bunyi. Atau tuntutan mesti memiliki kekayaan kosa kata.
Belum lagi, jika berpijak pada beragam kaidah penulisan puisi yang dimuat dalam buku orang-orang akademis bahasa. Bisa jadi, karena banyak aturan itu dan enggan melanggar. Mereka sangat jarang bahkan tak pernah menulis puisi. Karena pasti susah menjadi kamus, tah?
Ketiga. Puisi itu harus memiliki Makna.
Sesuatu yang aneh, jika ada puisi tanpa makna, kan? Sehingga saat menulis, banyak yang "terjebak" memikirkan apa saja, kira-kira makna yang tersurat dan tersirat dari puisinya.
Pertanyaannya, makna itu hadir sebelum menulis, pada saat menulis atau sesudah menulis? Hematku, makna selalu hadir diakhir proses penulisan puisi.
Sila tanya pada penulis-penulis besar. Jejangan mereka tertawa, mendengarkan makna dari pembaca tulisannya. Bisa jadi, pesan awalnya lain, tapi diterjemahkan pembaca dengan makna berbeda. Ya monggo, tah?
Akhirnya? Tiga poin itu, menjadi pedal rem pakem bagi seseorang untuk berhenti, ketika mencoba menulis puisi.
Jadi harus bagaimana, biar bisa berpuisi?
Aku akan mengatakan, sesungguhnya menulis puisi itu mudah. Secara kiramologi, ada tiga langkah yang biasanya kulakukan, saat membuat sebuah puisi.
Pertama. Menimba Kata.
Lupakanlah, menulis puisi itu susah. Tinggal gali dan susun satu demi satu kata-kata. Terus dibaca berulang-ulang. Kemudian dinilai sendiri berdasarkan etika kepantasan dan kepatutan yang berlaku. Baru memikirkan logika kata. Masuk akal atau malah terasa aneh?
Ada beberapa orang yang menulis puisi dengan prinsip "yang penting nganeh". Bagiku, tak masalah, selagi keanehan itu mampu dikemas dengan apik. Dan itu akan terjadi, jika sudah menulis kata-kata! Kalau masih di dalam pikiran, maka puisi tak akan pernah ada. Jadi? Hajar aja!
Kedua. Menimbang Rasa.
Hematku, ada baiknya tunda dulu perihal aturan. Bukan menafikan, tapi menunda! Tulis dan tulis saja dulu. Pemahaman tentang aturan dan syarat sebuah puisi akan hadir seiring perjalanan panjang menulis puisi.
Menulis puisi bukan untuk dinilai, kan? Tapi, bagaimana ungkapan dari dalam diri melalui puisi itu bisa dinikmati oleh pembaca! Sentuh sisi estetika atau keindahan kata-kata yang dipilih. Estetika kata akan hadir, jika ada keterlibatan rasa (intuisi). Tak hanya menyigi panca indera, tapi juga akal budi.
Jadi, nanti dulu berpikir benar atau salah? Sesuai kaidah atau tidak? Kalau ikutan lomba, mungkin saja ada keterikatan pada berbagai kriteria, tah? Jangan lupa, penulis puisi juga memiliki kemewahan bintang lima bernama "Lisensi Puitik" yang bisa "menabrak" aturan baku yang berlaku.
Ketiga. Menimbang Makna.
Menulis adalah "media penyampaian ide" di kepala melalui kata-kata berbentuk tulisan. Ide yang awalnya hanya diketahui diri sendiri, kemudian diungkapkan dan dibagikan kepada orang lain. Langkah ini, tanpa sadar menyiratkan makna, kan?
Apatah puisi itu kemudian hanya bisa dimaknai diri sendiri, segelintir orang atau banyak orang. Itu di luar kendali pemuisi, kan? Jika mendapatkan tanggapan positif, artinya ide tersampaikan. Jika negatif, tinggal lakukan perbaikan dengan menyigi kekurangan.
Toh, beragam tanggapan itu adalah hak dan kebebasan dari pembaca. Apalagi, kemampuan memahami dan memaknai suatu tulisan, terkadang juga ditentukan oleh jam terbang bacaan dan keterbacaan, tah?
"Kan puisi itu, tentang rasa dan bermakna, Bang?"
"Hal itu hadir dari akal, hati dan panca indera, kan?"
"Maksudnya...."
Begini. Anggap saja menulis puisi itu seperti koki yang meracik menu. Tahu bahan, takaran dan ukuran. Semisal air, garam, gula, cabe atau beragam bumbu dapur lainnya. Juga memahami akibat serta risikonya, jika kurang atau berlebihan menggunakan bahan-bahan tersebut.
Koki yang baik, akan mengerti aroma dan rasa masakan, walaupun sedang berpuasa atau seluruh inderanya dipenjara.
Koki yang baik pun, memiliki kepuasan pribadi, ketika hidangannya tak hanya dirasakan sendiri, namun orang lain pun bisa menikmati.
Jadi? Kalau ditanyakan lagi. Bagaimana menulis puisi? Lakukan 3 langkah rahasia di atas, terus, hajar aja! Ahaaaaay...
Curup, 30.08.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H