***
"Kau bangun, Zaid?"
Mata bocah kecil itu, menatap cahaya dari lampu yang menempel di langit-langit. Kemudian sudut matanya berputar, mengelilingi ruangan yang berwarna serba putih. Tiba-tiba, suaranya tertahan di tenggorokan, ketika ingin menggerakkan kakinya.
"'Jangan dulu banyak gerak. Paman tahu, kau lelaki kuat!"
Zaid menatap Amran pelatih sekaligus ayah angkat, yang biasa dipanggilnya paman itu tersenyum. Tiga hari, anak yatim piatu itu tak sadarkan diri, akibat ledakan dahsyat gudang kimia amonium nitrat. Amran tahu itu, dari berita di televisi.
Sehari sebelumnya, Ia mengingatkan Zaid, jika hari itu adalah jadual latihan fisik sebagai pelari. Menurutnya, berlari di pasir pantai yang ada di kawasan pelabuhan, adalah cara yang tepat melatih otot kaki untuk pelari.
Alasan Amran pada Zaid tak bisa menemani karena merasa kurang sehat. Padahal sesungguhnya, hari itu, sejak pagi ia harus antri membeli makanan. Orang-orang menyebut negaranya sedang krisis.
Krisis yang tak pernah dimengerti Amran. Kecuali kelangkaan persediaan makanan untuk anggota keluarganya. Juga kebutuhan untuk Zaid. Anak temannya yang mati akibat bom bunuh diri di pasar Souk El Tayyeb.
Saat itu, Zaid yang berusia tujuh tahun, kehilangan ayah dan ibu di waktu yang bersamaan.
"Paman! Kakiku tak bisa digerakkan!"
Enam tahun, Amran tak pernah melihat airmata Zaid. Sekeras apapun latihan yang diberikan, Bocah kecil itu akan ikuti dengan diam. Puluhan kejuaraan dan beragam mendali, piagam juga piala di rumah milik Zaid adalah bukti.