"Semoga menjadi anak yang soleh dan solehah"
"Semoga berbakti  dan membanggakan orangtua, nusa, bangsa juga agama"
"Semoga selalu sehat, bahagia dan bermanfaat bagi orang lain!"
Salah satu dari tiga barisan kalimat di atas, menjadi pakem doa dan harapan  itu, lazim kita ucapkan kepada setiap pasangan yang baru saja mendapatkan anak. Kemudian, yang menerima ucapan akan membalas, "Amiin. Terima kasih". Iya, kan?
Apatah lagi selaku orangtua si anak? Bahkan sejak sebelum proses kelahiran. Pada setiap anak, doa dan harapan sudah dihaturkan. Seperti menanam pohon harapan. Maka setiap detik, pohon itu dipupuk dan disiram. Sepanjang perjalanan waktu yang dilalui seorang anak.
Ketika pohon itu mulai tumbuh besar tahun demi tahun demi tahun, orangtua  tanpa sadar menitipkan banyak harapan. Terkadang lupa kondisi pohon itu kukuh atau tidak menampung rindangnya harapan orangtua. Misal?
Saat anak baru memasuki usia satu tahun dan mulai belajar berjalan, sudah tersedia sepeda roda tiga. Ketika anak baru bisa menikmati kayuhan sepeda roda tiga, sepeda yang lebih besar sudah menunggu.
Saat anak baru mengenal satu dua kata. Orangtua terburu membeli perangkat pembelajaran mengenal huruf, mengenal warna-warna, bentuk kendaraan, jenis dan nama buah-buahan lagu anak-anak Â
Tak berhenti di situ. Saat anak mulai lancar berbicara di usia balita, beragam lagu dan film disajikan. Jika memiliki kemampuan bahasa asing semisal bahasa Inggris. Akan terlihat raut bangga di wajah orangtua.
Tak ada yang salah jika anak menikmati itu, kan? Hematku, proses itu kemudian menambah rindang dedaunan keinginan dan impian orangtua pada pohon harapan. Dan itu adalah sang anak!
Saat anak tumbuh besar, maka pohon harapan orangtua pun semakin bertambah rindang. Bayangkan ketika keluarga besar, saudara, lingkungan rumah seumpana tetangga dan lingkungan sekolah seperti guru, juga melakukan itu?
Jika tak hati-hati saat menanam apalagi tak menyiapkan alur proses untuk mewujudkannya. Tak harus menunggu belasan atau puluhan tahun. Bisa saja, saat masih kecil, pohon harapan itu tumbang, kan?
Ada kajian menarik yang kukutip dari hasil survey Benesse Educational Research and Development (BERD) Institute milik Benesse Corporation yang merupakan perusahaan pelayanan pendidikan di Jepang seperti dilansir haibunda.com. (baca di sini)
Penelitian itu dilakukan di Indonesia, China, Finlandia dan Jepang. Dengan objek penelitian adalah ibu rumah tangga. Setidaknya, ada 3 harapan terbesar para ibu terhadap anaknya. Dan hasilnya normatif namun bagiku, bisa menjadi bahan diskusi parenting. Aku sarikan, ya?
Pertama. Menyayangi Keluarga
Jadi, bukan kaya, terkenal memiliki pendidikan tinggi atau pekerjaan yang layak. Harapan terbesar para ibu adalah keinginan agar anaknya menyayangi keluarga. Ini jawaban ibu-ibu yang ada di Indonesia, China dan Finlandia.
Karena harapan adalah sesutu yang belum terwujud. Dan itu adalah jawaban para ibu, yang dianggap dekat dengan anak. Jika hasil kajian itu kontekstual dengan fenomena yang terjadi. jejangan sekarang, anak-anak tak lagi menyayangi keluarganya?
Kedua. Memiliki Sikap Kepemimpinan.
Tuh, kan? Ternyata para ibu mempunyai prioritas yang tinggi, agar anaknya memiliki sikap kepemimpinan. Aku bayangkan jika bertanya pada ibu-ibu yang ada di sekitarku. Bisa saja hal ini tak akan ada! Â Jika pun ada, mungkin satu atau dua.
Apatah karena respondennya ibu-ibu? Jawaban itu adalah refleksi ketidakpuasan pada kepemimpinan suami yang diberi jabatan pemimpin oleh para ibu yang ditahbiskan selaku orang yang dipimpin dalam rumah tangga. Aih, semoga kesimpulanku salah, ya?
Ketiga. Memanfaatkan kemampuan tinggi dalam pekerjaan
Sisi menariknya, bukan pada status pekerjaan atau penghasilan. Hasil penelitian itu menitikberatkan pada memanfaatkan kemampuan. Kukira ini bermakna penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Jika dibalik? Apatah saat ini, anak-anak yang sudah bekerja tidak memanfaatkan kemampuannya? Yang bermakna, tidak bekerja sesuai bidangnya keahliannya? Duh, Indonesia bingits, kan?
Di luar tiga besar itu. Harapan terbesar lainnya adalah, Pertama. Anak memiliki pendirian dan pendapat sendiri. Hal ini, malah menjadi prioritas utama bagi ibu-ibu di Jepang. Tradisi dan disiplin tinggi, kukira menjadi alasan keluarnya jawaban ini, kan?
Kedua. Anak bisa mewarisi keturunan keluarga. Hal ini tentu sudah jamak terjadi pada setiap orangtua. Hematku, bukan saja meneruskan garis keturunan. Namun juga mewarisi tradisi keluarga, kehormatan, harta benda dan sebagainya. Iya, tah?
Ketiga. Bisa mengurus orangtua di masa tua. Mungkin tak sedikit, orangtua juga memiliki harapan seperti demikian. Dan tak salah serta sebuah kewajaran.Walaupun tak terujarkan secara lugas atau khawatir menjadi beban bagi anak.
Keempat. Mengabulkan cita-cita orangtua. Bukan rahasia lagi. Terkadang anak menjadi tempat penitipan yang dianggap layak untuk menghadirkan cita-cita orangtua yang dulu tertunda. Kukira ini bisa dalam hal apa saja dan berlaku bagi siapa saja.
Jadi?
Begitulah. Tanpa sadar, orangtua terkadang menciptakan pohon harapan yang luar biasa rindang dalam wujud seorang anak. Dan lupa mengukur, seberapa besar kemampuan pohon itu bertahan "memanggul" harapan itu sepanjang hidupnya.
Ketika ada yang berkata. "Itu kan harapan? Masa tak boleh?" Aku hanya bisa menjawab, "iya. Boleh. Jika harapan itu sesuai dengan kemampuan." Hiks...
Curup, 04.08.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H