"Tidur dulu, yuk?"
Tak ada sahutan. Kau diam. Jemarimu sibuk. Sesekali matamu melihat beberapa buku yang terhampar di tempat tidur. Mataku menatap jarum jam yang tergantung di dinding kamar. Pukul sebelas malam.
"Kan, lagi ibadah ponsel, Mas?"
Kau tersenyum. Tak bersuara, perlahan kau mengeser dudukmu juga buku-buku. Tak butuh banyak waktu, tempat tidur sudah terbagi dua. Sekilas isyarat matamu mengarah padaku, beralih ke ruang kosong di ranjang. Dan kembali menatap ponselmu.
"Tanggung. Satu kelas lagi."
***
Ibadah ponsel! Itu adalah rumus terbaru darimu. Kesepakatan paling bodoh yang pernah aku setujui, setelah sembilan tahun pernikahan. Namun tak ada pilihan.
Dua minggu berlalu, sejak sekolahmu mengadakan pembelajaran jarak jauh. Atas nama tugas dan kewajibanmu demi masa depan anak bangsa, adalah alasan utama. Walau sebagai guru honorer, kata ibadah menjadi pelindung bagimu.
Awalnya, kukira kesepakatan itu adalah pilihan terbaik. Menjadi solusi dari riak-riak kecil yang tak pernah terjadi sepanjang usia pernikahan.
Ketika di meja makan, si Sulung beberapa kali ajukan protes. Ketika sayur dan sambal hasil racikanmu terasa asin terkadang hambar karena lupa ditaburi garam.
Pernyataan maafmu menjadi pertahanan yang tak bisa diganggu gugat. Padahal memasak, adalah salah satu senjata rahasia, saat aku memilihmu menjadi istriku. Dulu.