Pukul 10. Malam Idul Adha. Lapangan Setia Negara Curup.
Suara takbir, tahlil dan tahmid sudah sejak tadi bersembunyi di menara masjid-masjid. Suara kendaraan lalu lalang di lapangan berdebu, bercampur iringan pemusik jalanan yang menghibur tetamu.
Anak-anak mengendarai AVP sepuluh ribu. Ibu-ibu bertukar cerita tentang resah dan bumbu untuk racikan menu baru. Anak-anak muda mengusap asap putih, memenuhi langit malam yang menggantikan keriuhan siang hari.
Malam adalah tempat menyembunyikan kelelahan. Malam adalah ruang menitipkan keresahan. Dan malam adalah satu-satunya alasan untuk melupakan laju waktu yang bergerak sejak pagi.
Keyakinan menjamin kebebasan, menyakini kebebasan adalah kemerdekaan.Â
Keyakinan adalah kehormatan, menyakini kehormatan sebagai penghargaan.Â
Keyakinan adalah pengorbanan, menyakini pengorbanan sebagai wujud pengabdian.
"Bang, sudah jam 11!"
"Tunggu sebentar lagi!"
"Nanti..."
"Mereka belum terbiasa berkorban!"
Tali-tali pembatas sap masih tergulung. Toa-toa dan tiang-tiang penyangga masih termenung. Orang-orang merapatkan tempat duduk, berbagi tawa menghintung bintang malam yang terlupa disambut.
"Bang!"
"Biarkan dulu. Mereka takut tak bertemu hari esok!
Lapangan Setia Negara. Menjadi sumber cerita. Malam Idul Adha. Di era korona.
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H