"Di Aljihad, berapa ekor, Bang?"
"Kemarin, masih empat sapi, tiga ekor kambing!"
"Tahun ini, setoran dua dua, Bang?"
'Iya!"
Dua-dua itu, maksudnya dua juta duaratus ribu. Aku menyaksikan raut wajah Bude. Akupun mengerti dan memahami yang dirasakan juga dipikirkan perempuan di hadapanku.
Tak mungkin kucegah. Hadir ungkapan penyesalan Bude, kenapa harus ada pandemi korona. Menyesali informasi yang tertutup dari pemerintah daerah tentang kondisi kota Curup yang sebenarnya, juga menyesal sudah mematuhi larangan anak-anak tak berjualan jamu.
Sejak Pandemi, Bude hanya berjualan rempeyek kacang, namun itu jika ada pesanan. Bude mengajukan buku tabungan qurban sambil menyerahkan uang limaratus ribu. Total angka yang Beliau tulis, satu setengah juta rupiah.
"Kurang tujuh ratus! Bilang Abang dulu, jangan memaksa, kan?"
Perempuan itu menatapku. Kemudian beralih pandangan pada jemarinya. Cincin kawin yang menghuni jari manis itu, selalu menjadi sandaran. Dan sudah tahu jawabanku. Pilihannya adalah menunda untuk tahun depan.
Di tengah perbincangan elit, tentang prioritas antara ekonomi dan kesehatan yang kusut masai. Masih ada orang-orang yang ingin berbagi sesuai kemampuan yang dimiliki. Masih ada orang-orang yang menyemai impian untuk melakukan kebaikan dengan segala keterbatasan.