"Kalau aku berikan karcisku, Abang gak marah,kan?"
"Ya udah! Berikan aja! Agar niat Ajo sampai."
Aih, begitulah Ajo. Dengan alasan, karena istri bekerja di warung nasi, jadi sesekali masih bisa mencicipi rasa daging. Maka, jika tak ada lagi karcis, meminta persetujuanku untuk memberikan karcis itu ke temannya.
Tak ada raut wajah terkejut. Ajo tersenyum sambil mengangguk setuju. Setelah kujelaskan, saat hari H nanti, bakal diantarkan daging tanpa karcis.
Karena membiasakan kepada anak-anak dengan sebutan "Bude Jamu". Maka bertahun, aku pun menyapa "pensiunan" penjual jamu keliling dengan gerobak itu, menggunakan sapaan "Bude".
Tak hanya menjual jamu, Beliau juga menjual rempeyek kacang. Aku dan anak-anak suka cemilan tradisional ini. Dulu, Beliau langgananku, walau tak rutin setiap hari aku minum jamu. Tapi, beliau pasti setiap hari lewati depan rumah.
Nah, Bude biasa menitipkan tabungan qurban. Jika sudah terkumpul selanjutnya, aku serahkan pada pengurus Masjid. Bisa lima ribu, atau sepuluh ribu satu hari. Terkadang, satu minggu setoran Bude duapuluh ribu. Dengan cara begitu, Bude beberapa kali ikut menjadi peserta qurban.Â
Ajaibnya, saat waktu setoran qurban ditutup, setoran Bude selalu cukup!
Sejak korona, tanpa pilihan, Bude mengajukan pensiun dini kepada diri sendiri, atas permintaan dan larangan anak-anaknya. Akibatnya? Tabungan qurban Bude tersendat.
Pagi tadi, usai mengantar anakku sekolah, tak sengaja kulewati rumah Bude. Beliau memanggil dan memaksaku untuk singgah. Beberapa saat berbasa-basi karena sudah lama tak jumpa, sambil disuguhi segelas kopi. Topik beralih ke tabungan qurban.