Tak pernah rugi jika berbagi. Namun pasti rugi jika tak pernah berbagi.
Kalimat ini, entah jatuh dari langit sebelah mana, atau butiran hikmah yang pernah kudengar dari orang-orang bijak. Yang pasti dua kalimat itu, berdengung kencang di kepalaku pagi tadi. Usai bertemu sosok Ajo dan Bude.
Dua pertemuan berbeda dengan dua sosok berbeda, tapi satu pokok bahasan yang sama. Tentang qurban. Aku tulis saja, ya?
Kisah Pertama. Keputusan Ajo.
Ajo. Biasa kusapa begitu. Lelaki paruh baya -tukang sol sepatu- yang biasa mangkal di simpang empat dekat rumah, menghentikan langkahku. Tanpa basa-basi, berucap maksudnya. Menanyakan karcis qurban.
"Lah? Ajo belum dapat? Nanti aku tanyakan ke Amak."
"Hamdallah, sudah."
Aku mengenal Ajo belasan tahun. Seseorang yang setia dengan profesi. Memiliki tiga anak, yang sudah menikah, serta seorang istri yang bekerja di warung nasi, sebagai tukang masak.
Karena Amak (Ibuku) lebih menguasai gosip dan keadaan teritorial di sekitar rumah. Maka Amak biasanya yang kuminta menyebar karcis qurban. Beliau bilang, Ajo tak pernah berlaku curang, "menimbun" diri dengan karcis qurban.
Mengalir cerita Ajo. Teman dekatnya -seorang kuli angkut- sekarang terkapar sakit. Kakinya terkilir saat mendorong gerobak barang. Biasanya, jika dapat dua atau lebih, maka Ajo akan berbagi. Hari ini, Ajo baru memiliki satu karcis. Malam tadi, temannya itu bertanya.