Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Aku Selesaikan Puisi

26 Juli 2020   18:00 Diperbarui: 26 Juli 2020   18:43 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau menyukai senja?"

Seperti hantu. Entah dari mana arah datangnya. Tiba-tiba saja berdiri di hadap dudukku. Berjarak setengah meter dari ujung  jari jempol kaki kanan, yang ditopang paha kiriku. Aku menunda jawaban. Lebih tepatnya, aku masih terkesima memangku keheranan.

Satu sosok lelaki, kukira sebaya usia negara atau mungkin lebih tua. Tubuh itu cenderung ke kanan, seperti putaran arah jarum jam. Sepasang mata tua yang berdiam di balik kacamata menatapku. Tak ada senyuman, apalagi kata sapa untuk sebuah perkenalan.

"Berhentilah menulis tentang senja!"

Suara yang tak begitu jelas. Tangan kanannya mengajukan jari telunjuk yang gemetar. Perlahan mendekat, menuju sudut kanan dari mata kiriku. Hanya sesaat. Jari itu sudah berpindah, tepat berada di ujung hidungku. Kulihat ada butir bening tersisa di situ.

"Senjamu hanya air mata. Tulislah tentang hujan!"

Suaraku sudah berkumpul di ubun-ubun. Bercampur dengan aliran darah yang dipacu jantung serta oksigen yang dipompa paru-paru. Lelaki tua itu menghilang. Bersama cahaya lampu yang tiba-tiba menyala, dan bayangan wajah istriku.

"Subuh dulu, Mas!"

***

Hari ini, hari ketujuh aku melupakan senja. Aku ingin  bercerita tentang hujan. Bukan sebagai kegilaan baru yang kulakukan, karena menantikan sepucuk rindu pada butiran hujan yang masih enggan berjatuhan.

Namun, satu puisi yang ingin kujadikan sebagai pembuktian kepada lelaki tua berkacamata yang hadir dalam mimpiku. Satu minggu lalu.

Hujan bukan hanya butiran langit

Tapi peredam rasa sakit,

Tulismu

Tiga baris kalimat itu masih jauh dari selesai. Terkurung pada sehelai kertas buram yang tergeletak di atas meja berbahan kayu mahoni yang sudah sejak dulu kusam.

Tujuh kali senja kulewati. Belum kutemukan satu kata yang bisa kucacahkan pada kertas buram itu. Tujuh kali, aku hanya menikmati kedatangan dan kehilangan semburat jingga. Tak tak tebersit sedikit pun keinginan untuk menuliskan.

"Belum selesai, Mas?"

Perempuan yang secara sadar takluk dan memasrahkan diri menjadi istriku, menyajikan segelas kopi. Diletakkan di sebelah kertas buram, di atas meja kayu mahoni kusam. Tangannya meraih kertas itu. Membacanya sesaat. Perempuan itu menatapku.

"Kenapa memaksa diri? Mas sudah nyaman dengan senja, kan?"
"Seperti senja. Hujan pun tak sesederhana itu!"

"Makanya, tulis saja tentang senja. Kan, sama-sama tak sederhana?"

"Hujan dan senja tak pernah sama, Cantik! Aku ingin menulis hujan. Titik!"

Siapa yang ingin memulai perdebatan dengan Pemuisi? Sosok yang terbiasa menjadi tuhan dari setiap kata yang dituliskan. Membiarkan para pembaca tersesat menentukan pengertian pada persimpangan makna.

Pemuisi pun hanya  tertawa menyaksikan terciptanya perselisihan rasa. Jika pun ditanya, bagaimana proses kelahiran puisi, yang dipaparkan akan disesuaikan dengan siapa yang mengajukan pertanyaan. Hanya itu.

Namun, Pemuisi akan mampu menjelaskan kata demi kata dari tulisan yang dipilih sebagai senjata. Untuk menuangkan timbangan akal budi dan rasa melalui barisan kata-kata.

Istriku, mengerti itu. Hingga menjauh dari kamar. Bergegas ke ruang tamu. Seperti biasa, sesudah isya adalah pilihan waktu istimewa baginya. Mengabdikan waktu dengan segenap perhatian untuk menyaksikan drama Korea.

***

"Sudah kau tulis tentang hujan?"

"Belum selesai!"

Mimpi berdiri di sisi meja. Tangannya meraih secarik kertas buram, yang ternoda tetesan dari secangkir kopi senja tadi. Perlahan meletakkan kembali ke hadap dudukku. Kusaksikan, tiga baris kata itu tak juga berubah. Tak berkurang, tak juga bertambah.

Kamar itu sunyi. Ia masih berdiri di sisi meja. Menatapku dalam diam. Istriku sudah sejak tadi dikuasai lelap. Mungkin bermimpi tentangku, puisi senja atau tentang bintang Drama Korea.

Dingin lantai kamar terasa berkumpul di bawah kursi. Pelan-pelan menelusuri kedua jempol kaki dan terus menjalar bergerak naik menuju mata kaki.

"Tak ada yang lebih tabah"

"Itu Sapardi Djoko Damono!"

"Tak ada yang lebih bijak"

"Itu Eyang! Sudah diam!"

Rasa dingin sudah sampai ke pinggang. Tirai jendela yang terbuka, mengabarkan. Larut malam itu, belum ada tanda turun hujan.

"Tak ada yang lebih arif"

"Sudahlah! Itu miliknya. Biarlah aku selesaikan puisi milikku! Biar..."

Kalimatku terhenti. Dingin terlalu cepat menguasai.

***

Hujan bukan hanya butiran langit

Tapi peredam rasa sakit,

Tulismu

Untukku

Tak ada hujan. Tak ada senja. Hanya ada air mata di akhir kata. Milik perempuan yang berkerudung duka. Berdiri kaku memegang sehelai kertas buram. Pada pagi yang muram.


Curup, 26.07.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

selamat Hari Puisi Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun