***
Peristiwa pembongkaran paksa rumah itu, begitu membekas pada anak bungsu lelaki tua itu, belasan tahun kemudian. Satu-satunya pembelajaran penting dari peristiwa itu, bahwa kekuasaan lebih penting dari kebenaran.
Anak bungsu itu, berusaha melupakan perjuangan kedua orangtuanya. Harus pindah ke rumah kontrakan. Memaksa diri berjuang lebih keras untuk biaya sewa serta kehidupan keluarga. Orangtuanya mati, menyerah pada jemari kekuasaan.
Anak itu menertawakan nasib Socrates juga Galileo. Menjadi martir untuk suatu kebenaran, dan tersungkur di hadapan sebilah pedang kekuasaan.
Ia menatap kasihan kepada penjaja kebenaran yang setiap pagi, siang dan sore serta malam hari melontarkan hal itu, hingga ke pinggir-pinggir jalan. Ia meyakini, apapun kebenaran yang diperjuangkan, tanpa kekuasaan adalah kemustahilan.
Maka, tak perlu berpihak pada kebenaran bila muaranya adalah penderitaan dan kesengsaraan. Sebagaimana yang dialami orangtua dan keluarganya. Berpihak pada kekuasaan, berkuasa dan menjadi penguasa, satu-satunya cara memperjuangkan kebenaran.
Saat ini, ia berada di pusat kekuasaan. Tak hanya segenggam, namun bisa menentukan hitam dan putih masa depan. Tak cuma satu orang, tapi banyak orang. Namun kini ia telah berusia senja.
Setiap malam, ia mengalami pergulatan batin yang menggerogoti waktu tidur. Berfikir dan terus berfikir. Mencari dan terus mencari. Kepada siapa kekuasaan itu akan diserahkan.
Hadir kekhawatiran, jika kekuasaan itu diserahkan pada orang yang salah. Kisah masa lalu yang dialami orangtua serta keluarganya, akan terulang.
Tercipta kecemasan, menyaksikan kebenaran yang diperjuangkan dengan kekuasaan yang ia miliki, tanpa mampu dicegah, menjadi alat pembenaran bagi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang berlindung dengan kekuasaan yang ia miliki.Â