"Tempat Adek, Mas?"
"Kan, hujan?"
"Hanya gerimis, Mas!"
Adek, adalah kata mantra bagimu. Dan kata sakti bagiku. Satu-satunya anakmu. Hadir dari rahimmu. Berusia empatpuluh hari. Duapuluh tujuh tahun lalu. Hingga waktu memahat takdir. Tak lagi ada adek lain yang lahir. Bagimu dan bagiku.
Kau memegang erat leherku dari belakang. Bertahan menunggu langkah kakiku yang pelan. Menuju tempat persinggahan abadi. Pemakaman sepi. Berjarak seratus meter di belakang rumah.
Kau akan turun dari gendongan. Duduk bersimpuh di susunan bebatuan. Menggenggam sapu tangan merah jambu yang semakin lusuh. Perlahan menghabiskan isi botol dengan merapalkan segala doa dan pinta. Kau dan aku menikmati sunyi berdua. Juga air mata.
***
Hari ini, bukan jumat pagi. Aku kembali mengunjungimu. Juga adek yang sejak lama lelap di sisimu. Bersimpuh menunggu hadirnya air mataku, yang ditakdirkan lahir piatu.
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah
dan hujan, membayangkan rahasia daun basah
serta ketukan yang berulang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!