Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kini Ia Terlahir Piatu

19 Juli 2020   18:03 Diperbarui: 19 Juli 2020   18:02 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Kini ia terlahir piatu. Dari sudut mata yang telah lama membatu. Ketika pertengahan Juli tak lagi menawarkan butiran hujan. Ketika kesedihan dan kesunyian tak pernah lagi mampu disamarkan.

Sepasang kupu-kupu yang terpisah oleh badai, menyebutnya genangan luka. Sapu tangan warna merah jambu milikmu yang mulai tampak lusuh, memberikan nama air mata. Dan aku pun bersekutu tentang nama itu.

***

Bulan Juni menawarkan keceriaan pada benih-benih sawi yang kau semai pada tiga ember bekas coran, usai bangunan rumah tetangga selesai. Atau untuk serumpun mawar serta sekumpulan pandan wangi yang tenang bertahan dalam pecahan galon isi ulang.

Namun tidak pada lelap malammu.

"Mas?"

Kau terjaga. Segera bangun dari tidurmu. Jemarimu sigap membenahi helai rambut di bahu, dan menyembunyikan ikatannya di belakang punggungmu. Tak kau balas senyumku.

"Tidurlah!"

Kau diam. Sepasang matamu bergantian, menatap tangan kiriku yang memegang ember plastik kecil berwarna biru, dan tangan kananku yang menggenggam gagang gelas besar berisi ampas kopi sore tadi.

Kedua benda itu nyaris penuh dengan tetesan hujan yang betah berjatuhan. Kau raih tangan kananku. Gelas besar itu telah benpindah tangan. Kepalamu bersandar di bahuku. Menunggu titik-titik hujan bergantian. Berjatuhan dari langit malam menembus kegelapan.

Tak perlu bicara untuk mengurai rasa. Pun tak butuh kata berucap asa. Ketika kau dan aku terkurung ruang dan waktu yang sama. Dan Beningmu memaku hening. Tersisa ketukan berulang dengan harmoni sepi dari atap rumah yang usang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun