Bagaimana dengan anak-anakku? Jika keluar dari ruang kelas dan matanya melihatku. Wajah letih seharian bersekolah anakku akan sumringah! Yang lelaki terkadang berlari dan segera bertukar salam.
Tak hanya anakku, anak yang lain juga begitu. Aih, aku berpikir, begitu rasanya jika ditunggu, ya?
Akupun terbiasa melihat wajah anak-anak yang berebutan meminta satpam sekolah untuk mencari tukang ojek, atau harus menunggu ojek langganan yang telah dipesan oleh  orangtuanya. Keinginan segera sampai ke rumah mesti tertunda.
Namun, jika aku terlambat menjemput. Wajah anakku yang sudah menunggu akan tersaji sedikit berkerut. Apalagi jika terlambatnya pakai bonus! Maka aku akan mendapatkan bonus wajah kusut pula.
Biasanya, jika sudah begini. Butuh trik khusus, agar selama perjalanan pulang dari sekolah, wajah kusut dan berkerut itu tak dibawa hingga ke rumah. Apa triknya? Cukup dengan meminta maaf. Terkadang, permohonan maaf orangtua itu sangat berarti bagi anak, kan?
Sejak bulan April hingga hari ini, kewajiban sebagai Ayah dengan menjemput dan mengantar anak itu, masih tertunda.
Aku sedikit ragu, jejangan kerinduan dengan rutinitas itu, sesungguhnya sebagai harapan agar anakku segera "menjauh" dari rumah? Atau ini merupakan "peluang" bagiku, untuk memaksimalkan waktu bersama anak-anakku?
Setelah melihat kesibukan dan kesulitan yang dihadapi anakku ketika belajar dari rumah, padahal waktuku bersama mereka lebih banyak. Diam-diam, hadir juga rasa bersalah, jika menuntut sesuatu yang lebih dari anak. Ketika tugasku hanya mengantar dan menjemput mereka.
Aih, malah jadi sentimental!
Curup, 16.07.2020