Sejak pandemi korona, aku "kehilangan" satu pekerjaan sebagai ayah. Ketika pagi mengantar anak-anak ke sekolah, dan menjemput mereka setelah waktu ashar pulang ke rumah.
Ritual pagi itu, kulakukan sejak mereka di Taman Kanak-Kanak. Ada aturan tak tertulis dariku, apapun keajaiban dan kepanikan yang terjadi saat mempersiapkan diri, maka ketika keluar rumah untuk bersekolah, mesti ceria.
Bila tersaji wajah kusut dan muka cemberut apalagi ada air mata, semua anakku mengerti, mesin motor akan tetap pada kondisi mati. Selain mengenakan jaket, udara dingin pagi Kota Curup -kampungku- di kaki Bukit Barisan, akan terusir dengan tawa ceria dan nyanyian sepanjang perjalanan ke sekolah.
Satu dua tiga empat
Lima enam tujuh delapan
Siapa rajin ke sekolah
Cari ilmu sampai dapat
Ada yang ingat lagu ini? Salah satu lagu anak legendaris ciptaan Pak Kasur, merupakan menu favorit anak-anakku. Namun, itu semasa TK. Saat ini, anakku ada yang di SD dan SMP. Nyanyian itu berubah menjadi hafalan doa dan surat pendek.
Satu per satu anakku turun dari motor. Bertukar salam sambil mengusap kepala, saling berbagi senyuman dan sekilas mengibaskan telapak tangan. Kemudian, anakku bergegas memasuki pintu gerbang sekolah dan disambut senyuman guru yang sudah menunggu di pintu.