Penulis berita, tak lagi menggunakan sudut pandang orang ketiga ini. Tak lagi bercerita  secara runut dan rinci. Ketika tokoh partai tersebut dipecat atau akhirnya keluarga tokoh partai itu alami perceraian. Bilik berita hanya tersedia sedikit, tentang sidang perceraian dan perebutan harta gonogini serta hak asuh anak.
Bagaimana dengan artis? Diberitakan karirnya yang meluncur drastis. Sepi orderan dan dikabarkan terlilit hutang. Juga ditambahkan sedikit cerita, jika orangtua artis tersebut sedang dirawat di rumah sakit.
Karena nilai beritanya tak akan sama dengan tulisan yang bermakna sex is news, penulis berita tak akan menyigi derita itu lebih lanjut. Kisah perselingkuhan Tokoh Partai dan Artis ditutup! Sambil mencari atau menunggu parade sex is news berikutnya.
Jika menulis penderitaan, mungkin mereka lebih memilih tentang tenaga medis yang menjadi korban korona, wanita tua yang hidup sendiri tapi tak pernah dapat bantuan pemerintah. Atau anak yang berhenti sekolah karena orangtua tak mampu membeli kuota, dan berita-berita bernilai derita lainnya. Hiks...
Entahlah lagi! Mungkin aku harus menunggu. Menunggu jejak langkah dan kebijakan Pengendali media, pengaruh Pemilik media dan kearifan Penulis media atau perlawanan korban berita untuk memutus rantai berita tak lagi menjadi cerita dan derita.
Maafkanlah. Ini hanya refleksiku. Adakah yang sepertiku?
Curup, 14.07.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]